Kereta (bukan) Kencana
Selasa sore kemarin (18/4/06), palang kereta api listrik (KRL) di perlintasan Lenteng Agung menutup dengan bunyi khasnya, tuing-tuing-tuing. Semua kendaraan yang hendak melintas berhenti dengan tertib. Wajah-wajah penat, wajah-wajah suntuk, wajah-wajah dingin, termangu di belakang kemudi mobil mereka. Sedikit wajah-wajah ceria, tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari pemutar cakram mobil mereka. Para pengedara motor, sebagian besar melemaskan otot-otot tangan dan pinggang mereka, mengambil kesempatan itu sebagai jeda sejenak yang berguna. Ini hanya sebuah rutinitas biasa di perlintasan-perlintasan KRL seantero Jabotabek. Sebuah rutinitas di sebuah sore yang kebetulan tidak diguyur hujan deras. Semua menunggu kereta yang segera lewat. Sebuah KRL kelas ekonomi, bukan sebuah kereta kencana yang megah.
Normalnya, KRL akan melintas dalam waktu 2 sampai 3 menit setelah palang diturunkan dan semua kendaraan akan merangsak maju dalam kemacetan yang menjadi semakin parah seiring senja menjelang. Tuing-tuing-tuing. Sudah lewat 3 menit, tapi kereta masih tak nampak batang hidungnya. Jangankan batang hidungnya, desis dan lengkingnya yang menggetarkan tak sedikit pun terdengar. Orang-orang mulai kesal dan marah. Deretan bermacam kendaraan semakin menyemut panjang. Lima menit berlalu bersama bunyi ‘tuing-tuing-tuing’ yang depresif. Irama monoton itu hanya bisa ditoleransi pendengaran sebagai bunyi yang lucu paling lama 2 menit saja. Lewat dari 2 menit, bunyi itu menjadi jarum tajam yang menghunjam-hunjam gendang telinga. Menambah stres dan kemarahan yang terus menggumpal setiap hari di jantung dan otak warga Jakarta. Klakson pun mulai melengking-lengking seperti lolongan anjing melihat setan dan iblis.
Kereta tak jua lewat. Senja memerah oleh gumpalan kemarahan. Para pengendara motor mulai menerobos palang perlintasan. Sebagian sambil memaki-maki. Tuing-tuing-tuing. Palang perlintasan bergerak naik-turun oleh para penerobos yang mengangkatnya berkali-kali. Seorang kekasih mungkin menunggu mereka, membuat mereka panik dan tak peduli lagi pada bahaya. Itulah cinta dalam tahap dan kadar tertentu. Pengendara lain mungkin panik karena sebuah kesempatan mendapatkan order atau projek bisa lenyap karena kereta (bukan) kencana yang tak jua melintas itu. Sudah 10 menit berlalu saat semakin banyak pengendara motor menerobos perlintasan. Satu-dua angkot juga bergerak, nekat menerobos mengikuti pengendara motor. Antrian kendaraan sudah mencapai ratusan meter panjangnya.
Lalu setelah sekitar 15 menit, palang perlintasan terangkat ke atas bersamaan dengan raungan mesin dan klakson yang membabi buta. Semua merangsak maju dan mencoba menyerobot dengan penuh kemarahan. Kereta (bukan) kencana itu ternyata tidak jadi lewat! Semua orang merasa terkecoh. Semua orang merasa ditipu mentah-mentah oleh KRL yang, entah kenapa, tak jadi lewat itu. Saya, yang kebetulan menjadi bagian dari massa terkecoh itu, seketika paham mengapa kereta Sembrani bertabrakan minggu lalu. Saya juga seketika paham mengapa kereta (bukan) kencana lainnya menabrak metro mini kemarin siang. Saya seketika sedikit lebih paham mengapa kerap terjadi kecelakaan kereta di negeri tercinta ini. (frg)
<< Home