Kado Kecil Buat Kontras
Senin petang, 20 Maret 2006, di Hotel Ibis Tamarin, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan merayakan hari jadinya yang ke-8. Hadir dalam acara itu, selain keluarga korban berbagai kasus orang hilang dan korban kekerasan, sejumlah tokoh. Ada Asmara Nababan, Zumrotin, Teten Masduki, MM Billah, Stanley, istri almarhum Munir, Suciwati, dan para aktivis muda seperti Johnson Panjaitan, Mugiono, dan Usman Hamid. Setelah sambutan-sambutan dan pemotongan tumpeng, digelarlah sebuah diskusi sebagai acara utama perayaan sewindu Kontras tersebut.
Tentu sah-sah saja merayakan ulang tahun dengan menggelar acara diskusi, apalagi yang punya hajat adalah Kontras. Tapi untuk apa? Beberapa waktu sebelumnya pada awal bulan Maret, di Bentara Budaya Jakarta, ada acara bertema “Dialog dalam Ekstrimitas” selama tiga hari berturut-turut. Acara yang digelar oleh Yayasan SET ini juga menghimpun sejumlah tokoh untuk berdiskusi dan berdialog membahas berbagai persoalan bangsa Indonesia. Ada selingan-selingan performans dan ekspresi kesenian lainnya. Garin Nugroho, sebagai pemimpin Yayasan SET, mengadakan acara ini, selain sebagai bentuk keprihatinan pada situasi aktual yang ada, juga dalam rangka perayaan sekian ratus tahun Amadeus Wolfgang Mozart.
Pada hari dan jam yang sama dengan perayaan sewindu Kontras, saya juga menerima sms undangan untuk ikut berdiskusi bersama WS Rendra dan kawan-kawan dengan tema RUU Pornografi dan Pornoaksi. Di tempat lain lagi, sejumlah teman membahas situasi terakhir di Abepura sehubungan dengan kasus Freeport. Begitu rumit persoalan-persoalan yang berseliweran dari hari ke hari, mengacak-acak hidup kita, meneror, memorak-morandakan, dan akhirnya mentok di jalan-jalan buntu sepanjang aliran darah di tubuh kita. Menjadi racun yang mengendap perlahan tanpa kita rasakan sebelum akhirnya membunuh kita. Kita menikmati racun itu sama halnya dengan nikotin dan tar dalam beribu-ribu batang rokok. Kita mendapatkan kenikmatan dari racun itu sampai menjadi tak berdaya.
Sewindu adalah waktu cukup panjang untuk sebuah lembaga dengan kekuatan dan keberanian seperti Kontras, yang dipelopori dan dimotori oleh kawan Munir. Seharusnya, kawan Munir menjadi orang yang paling berbahagia dalam acara perayaan sewindu itu. Seharusnya! Artinya saya tidak tahu apakah di alam lain konsep kebahagiaan yang berlaku serupa atau tidak dengan konsep kebahagiaan di dunia ini. Apakah di dunia lain juga ada racun yang dengan sadar kita jadikan sebagai kebutuhan utama bagi keberlangsungan hidup kita? Saya tidak tahu. Ya, saya tidak tahu, karena seperti halnya judul laporan tahunan Kontras 2005, “Penegakan Hukum dan HAM Masih Gelap”. Gelap! Suram!
Dalam kegelapan, siapa pun tidak bisa banyak tahu. Dalam kegelapan siapa saja harus menajamkan mata dan meraba-raba untuk sekadar melihat siluet atau bentuk-bentuk kekerasan yang ada dan terus terjadi. Tidak mudah untuk melihat iblis yang menyeringai dalam diri kita sendiri. Musuh utama setiap perjuangan menurut kebijakan dari Sidharta Gautama adalah diri sendiri. Sebelum mengalahkan orang lain dengan jalan damai, kita harus bisa mengalahkan diri sendiri. Jika kita mampu mengalahkan diri sendiri, kita akan bisa bersatu padu memerangi persoalan-persoalan bersama yang ironisnya selalu memecah belah kita dalam kelompok-kelompok. Padahal jelas persoalan apa pun yang kita hadapi sekarang, adalah persoalan bersama. Setidaknya sebagai satu bangsa yang sejarah kemerdekaannya digerakkan oleh semangat persatuan. Ironisnya, kini kita begitu mudah dipecah-belah oleh isu apa pun.
<< Home