Monday, December 26, 2005

Satu Tahun Tsunami Aceh

Catatan Rabu Pagi 15

Masih ingatkah Anda apa yang terjadi pada hari Selasa kemarin, tanggal 27 Desember setahun yang lalu? Mudah-mudahan kita semua tidak lupa dan tidak akan pernah melupakannya, karena pada hari itu sebuah bencana maha dasyat melanda hampir seluruh kawasan Aceh dan meluluhlantakkan bangunan peradaban dan kehidupan yang sekian ratus tahun tertata. Untuk mengenang dan mendoakan semua korban bencana Tsunami, pada catatan rabu pagi kali ini, saya mengutip satu bagian kecil dari novel “k-o-m-a” yang akan terbit tahun 2006, sebagai berikut:

4
Kematian

“Kamu takut mati?”

“Mati?”

“Ya, mati. Em-a-te-i.”

Ratusan mayat berserakan. Membusuk. Sekawanan babi hutan menggerogoti sisa-sisa daging yang masih melekat di onggokan mayat. Orang-orang mengais-ngais, mencari cincin, jam tangan atau kalung emas yang masih lekat di mayat-mayat itu. Mereka menutup hidung dan mulut dengan lilitan kain seadanya. Handuk kecil, sobekan kaos, atau saputangan. Hanya mata yang nyalang mencari. Kilatan sorot mata dingin. Hitam. Mereka mengorek-ngorek mayat dengan potongan ranting, besi bekas payung, atau gagang sapu.

“Mengapa kematian bisa senista itu?”

“Hei, aku cuma tanya kamu takut mati atau nggak. Aku nggak nanya soal kematian yang macam apa!”

“Kematian, kematian….”

“Ya, kematian! Takutkah kamu padanya?”

Ratusan mayat menumpuk, membentuk sebuah bukit mayat.

Sepasukan tentara dengan senapan laras panjang berujung bayonet berbaris mengelilingi bukit itu. Wajah mereka membesi, memantulkan kilatan petir yang membelah langit malam di hutan itu. Kesiur angin membawa jauh lolong serigala ke telinga setiap orang yang masih terjaga. Membuat ngilu hati yang mendengarnya. Gerimis menetes satu-satu, membasahi tubuh-tubuh terkapar dan jiwa-jiwa yang menggigil kedinginan.

Angin juga membawa lirih tangis bocah-bocah kecil yang ketakutan dan mencari ayah mereka. Tangis mereka begitu lirih. Membuat ngilu setiap hati yang mendengarnya….

“Aku tidak takut akan kematian.”

“O ya?”

“Ya.”

“Bener, nih?”

“Ya. Apa yang mesti kita takutkan?”

“Bener juga ya, apa yang meski kita takutkan?”

“Ya.”

“Kita bahkan tak tahu mengapa kita harus takut pada kematian….”

♋▭�

Mudah-mudahan kutipan ini berguna sebagai bahan renungan bagi kita semua, di akhir tahun 2005 ini. (frg)