Tuesday, October 04, 2005

Pram (3) & Chairil

catatan rabu pagi 6

Pram dan Chairil Anwar sama-sama melakukan pemberontakan terhadap berbagai dimensi yang mengkonstruksi eksistensi manusia. Sebagai anggota sebuah tatanan sosial-budaya, setiap manusia dipaksa untuk memenuhi aturan dan sistem nilai yang dipercaya sebagai landasan eksistensialnya. Nilai dan norma ini yang menentukan kewajaran perilaku dan martabat seseorang. Begitu perilaku seseorang keluar dari tatanan dan sistem nilai yang ada di masyarakatnya, ia akan menerima cap sebagai: tidak bermoral, bejat, pemberontak, atau bahkan gila. Untuk menghindari cap ini berbagai 'penyimpangan' perilaku ditutup rapat-rapat dan menjadi rahasia yang dibawa mati. Atas nama kehormatan dan martabat luhur manusia.
Hal ini melahirkan hipokrisi dalam perilaku sebagian anggota masyarakat, terutama pada kalangan terhormat dan terpelajar (kaum bangsawan, ningrat, atau kaum intelektual) yang tak bisa menolak godaan untuk keluar dari sistem nilai tatanan sosial-budaya masyarakatnya.
Sosok seperti Pram dan Chairil Anwar adalah sosok antagonis dari hipokrisi atau kemunafikan kaum terhormat yang juga melakukan berbagai perilaku yang dianggap 'tidak bermoral, bejat, atau gila'. Chairil menjadi antagonis karena ia tidak menutup-nutupi perilaku liarnya. Ia menegaskan 'kejalangan' dirinya dalam bait puisi fenomenalnya: aku ini binatang jalang/dari kumpulan yang terbuang. Dengan keberaniannya untuk jujur, Chairil membebaskan dirinya dari sistem nilai tatanan sosial-budaya masyarakat kita.
Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa perilaku-perilaku tersebut muncul dan tak tertahankan bahkan oleh kaum terpelajar? Jawaban pertama, jelas: zaman berubah. Dunia berubah. Nilai-nilai pun dengan sendirinya mengalami pergeseran. Tidak ada nilai yang absolut kecuali prinsip-prinsip paling substansial yang menjadi fondasi keberadaan manusia. Misalnya prinsip tentang hak asasi manusia; bahwa setiap manusia dilahirkan sama dan karenanya memiliki hak yang sama tanpa membedakan suku, agama, maupun warna kulit. Tanpa membedakan ideologi politik ataupun strata sosial yang hanya merupakan hasil konstruksi kekuasaan.
Dalam konteks inilah, karya sastra harus peka terhadap pergeseran nilai dan perubahan yang terjadi. Karya sastra seharusnya menjadi alat pembebasan bagi setiap pembacanya. Karya sastra harus membebaskan pembacanya dari sebuah konstruksi sistem nilai yang sudah tidak relevan lagi karena perubahan yang terjadi. Dan hal inilah poin terpenting yang kita dapatkan dari novel-novel Pramudya Ananta Toer. Chairil Anwar melakukan pemberontakan pada sisi lain. Ia secara terbuka mengusung nilai kebebasan eksistensial dengan cara yang frontal. Kita harus melihatnya dari sudut pandang yang objektif dan netral. Bahwa perilaku liar mengumbar seks tidak sepenuhnya bisa dibenarkan, jelas adanya. Tapi apa yang dilakukan Chairil tidak semata untuk tujuan pengumbaran seks itself. Apa yang dilakukannya adalah pemberontakan terhadap kemunafikan perilaku manusia, adalah upaya untuk menelanjangi kebobrokan moral dari kelompok orang-orang yang dianggap bermoral. Pada dimensi ini, Chairil sama dengan Pram.

Membaca karya-karya Pram dan Chairil Anwar, bagi saya adalah membaca karya sastra yang membebaskan. Dan karya sastra yang membebaskan bagi saya adalah karya sastra yang bertanggungjawab. Bertanggungjawab terhadap persoalan-persoalan sosial-politik-budaya yang melingkupinya. Bertanggungjawab terhadap persoalan-persoalan kemanusian dan ketertindasan manusia dalam sebuah sistem yang sewenang-sewang dan otoriter. ۞

frg, 10-05.