Tuesday, September 13, 2005

Peduli

Catatan Rabu Pagi (3)

Rabu pagi, seminggu lalu, 7-9-05, tepat satu tahun peristiwa tragis pembunuhan kawan saya Munir, saya terbangun dengan kepala berdenyut keras. Kerap saya mengalami terbangun dengan kepala berdenyut di pagi hari. Bukan karena berbotol-botol bir yang saya minum malam harinya, tapi mungkin karena saya terbangun dengan kesadaran banyaknya orang-orang tidak bertanggungjawab di sekeliling kita. Berseliweran di semua panggung dan gelanggang kehidupan. Melenggang. Tersenyum tanpa dosa. Tertawa-tawa. Mereka bisa politisi, bisa birokrat, bisa pejabat tinggi, bisa seniman, bisa aktivis, bisa wartawan, bisa artis, dan bisa juga para pembunuh yang membunuh Munir.

Mungkin juga saya terbangun dengan kepala berdenyar keras karena masih terenyuh oleh tayangan tubuh-tubuh hangus tanpa kepala, tanpa kaki, atau tanpa tangan, yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi saat pesawat Mandala jatuh menimpa pemukiman di kawasan Jamin Ginting, tak jauh dari Bandara Polonia, Medan. Sebuah bencana lagi. Mual rasanya perut saya melihat usungan-usungan jasad hangus yang mengerikan itu. Teman saya, wartawan radio 68H, Ging Ginanjar, yang memberi tahu saya untuk pertama kalinya tragedy itu sebelum televisi menayangkannya. Kami kebetulan tengah sama-sama mengurus visa saat itu. Ging kemudian mempertanyakan soal etika jurnalistik televisi soal penayangan vulgar semacam itu.

Etika?
Hmm, ini juga perkara yang kerap membuat saya terbangun dengan kepala berdenyar keras. Perkara yang dalam kehidupan kita, masyarakat dan bangsa dan negara Indonesia, menjadi sebuah kata kunci yang terkubur entah dimana. Terkubur mungkin di kuburan massal korban-korban pembunuhan politik. Terkubur mungkin di reruntuhan bangunan-bangunan hancur karena kerusuhan massal. Terkubur mungkin di file-file yang dibakar dan dihancurkan oleh kekuasaan yang berdarah-darah. Saya tak tahu persis. Saya hanya tahu, kalau kita memegang teguh etika kehidupan yang menghargai sesama manusia, banyak kerusuhan akan bisa dihindarkan. Banyak pertikaian akan bisa didamaikan. Itulah yang saya tahu.

Saya sudah terbiasa bangun dengan kepala berdenyar, jadi saya tetap bangun dan melakukan semua ritual pagi. Bengong beberapa saat (karena saya tidak merokok lagi), minum air putih, minum kopi, dan mulai membaca koran. Tepatnya membaca semua judul berita, dan menimbang-nimbang mana berita yang layak baca. Sudah lama saya juga merasakan banyak berita menjadi sekadar obrolan iseng yang tak punya makna apa-apa.

Mengapa?
Karena kita semua mungkin sudah lama tidak lagi peduli pada peristiwa apapun! Karena kita sudah kehilangan kepercayaan pada banyak hal dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita. Tapi bangun dengan kepala berdenyar, bagi saya sendiri adalah sebentuk kepedulian, karena jika kita telah benar-benar tak peduli lagi pada apapun kita akan bangun setiap pagi tanpa perasaan apa-apa. Hampa dan kosong. Jadi, jika Anda masih sering terbangun dengan kepala berdenyar seperti saya, bersyukurlah. Itu tandanya kita masih punya kepedulian.


Salam
frg

Ps. Maaf saya absent rabu pagi kemarin.