Pram (1)
Catatan Rabu Pagi (4)
Satu kejadian penting dan berharga pada pekan lalu selain peringatan setahun kematian Munir adalah berkunjung ke rumah Pramudya Ananta Toer. Setelah sekian tahun tidak bertemu dan mengunjunginya. Seperti yang dulu-dulu, kalau tidak salah dua atau tiga kali saya berkunjung ke rumah Pram ketika masih tinggal di kawasan Utan Kayu, kali ini pun saya mengunjunginya karena diajak dua orang kawan baik. Rahardja Waluya Jati yang pernah diculik Tim Mawar-nya Kopassus, tapi dibebaskan (antara lain berkat perjuangan almarhum Munir) dan Bowo yang akrab dipanggil Jemek.
Saya mengagumi Pram sejak untuk pertama kalinya membaca Keluarga Gerilya saat masih duduk di bangku SMP. Buku itu saya temukan di tumpukan buku-buku yang sudah digudangkan ayah saya. Saya membacanya dan serta-merta tersihir oleh buku yang sudah tidak bersampul itu. Ejaaannya masih ejaan lama. Saya merasa sangat beruntung menemukan buku itu. Saat itu tentu saja saya tidak tahu buku itu dilarang dan diharamkan oleh rezim Orde Baru. Saya lalu memasukkan nama Pramudya Ananta Toer sebagai pengarang favorit saya, tanpa tahu dia siapa, seperti apa cerita hidupnya, atau latar belakang politiknya.
Terus terang saya tidak peduli. Saya menyukai karya-karya tanpa syarat karena sangat bagus dan menyentuh bagian terdalam di jiwa saya. Saya pun sangat senang ketika menemukan lagi dan membaca karya-karya Pram lainnya, termasuk tetralogi Bumi Manusia. Saat itu saya kelas tiga SMP. Ya, kelas tiga SMP! Tentu saja saya tidak pernah membayangkan bakal bisa bertemu dengan sastrawan besar Indonesia satu-satunya yang dua kali dinominasikan oleh Panitia Nobel itu.
Tapi hidup selalu menyimpan kejutan dan ketakterdugaan persis di batas antara harapan dan kenyataan.
Saya memperhatikan baik-baik Pram yang sudah memasuki usia 79 tahun. Ia sudah pindah rumah ke kawasan Bojong Gede yang jauh dari keramaian dan menyibukkan diri dengan kegiatan membakar sampah di pagi hari. Rumahnya sangat luas. Mungkin seribu atau duaribu meter. Gus Dur semasa menjabat sebagai Presiden pernah juga mengunjunginya di Bojong Gede. Pram menyalami kami, dan tentu saja ia tak ingat siapa saya. Terlalu banyak orang yang menjadi pengagum beratnya. Saya hanyalah salah satunya yang tetap kagum melihat Pram di usia tua yang tetap kritis, jernih, konsisten, dan luar biasa cerdas. Daya pikirnya tetap hebat, meski memorinya mulai berkurang di sana-sini.
Meski saya katakan memorinya mulai berkurang di sana-sini, tapi dibandingkan dengan saya yang baru berusia 40 tahun pun, memorinya masih jauh lebih baik. Saya bahkan tidak bisa mengingat secara detil masa balita saya di usia yang baru 40 ini! Gila! Sungguh luar biasa.
Dan pagi itu memang pagi yang luar biasa bagi saya, matahari memenuhi ruang tamu rumah Pram yang terbuka dengan kehangatan yang mencairkan kebekuan jiwa siapapun. (to be continued) --
frg, at fourty.
Dan pagi itu memang pagi yang luar biasa bagi saya, matahari memenuhi ruang tamu rumah Pram yang terbuka dengan kehangatan yang mencairkan kebekuan jiwa siapapun. (to be continued) --
frg, at fourty.
<< Home