Wednesday, October 12, 2005

Gie & Presiden

Catatan Rabu Pagi 7

Sebuah kejutan datang dari industri perfilman nasional ketika sekitar dua-tiga tahun lalu tersiar kabar Mira Lesmana bakal memfilmkan Catatan Harian Seorang Demonstran, buku karya Soe Hok Gie yang sangat berpengaruh pada gerakan mahasiswa di Indonesia selama beberapa generasi. Setidaknya, sampai saat ini, semua mahasiswa yang memiliki label aktivis di jaket almaternya, pasti pernah membaca buku ini. Sosok Soe Hok Gie memang fenomenal sampai generasi 80an. Tapi idealisme, pemikiran, dan kharismanya sebagai ikon para demonstran, mulai memudar pada generasi muda saat ini. Generasi MTV. Generasi “Gue Banget”.

Namun disaat sosoknya yang telah memberi kontribusi besar pada para mahasiswa idealis, mulai memudar, tiba-tiba ia kembali menjadi pembicaraan hangat tahun 2005 ini. Film yang dibuat Mira Lesmana dengan biaya besar itu, memunculkan kembali secara konstan sosok Gie di tengah generasi muda sekarang. Pilihan Nicholas Saputra sebagai pemeran Gie, juga diributkan dan menjadi polemik seru di banyak kalangan.

Ini sungguh sebuah fenomena yang menggembirakan dan memberi harapan pada apa yang biasa kita sebut sebagai “idealisme” generasi muda. Di tengah iklim yang konsumtif-hedonis-kapitalistik, kemunculan kembali figur Gie, mungkin bisa menjadi angin segar dan menjadi sebuah alternative “orientasi” hidup.

Menyambut momen ini, sejumlah penerbit merasa berkepentingan untuk menerbitkan kembali buku-buku dari Soe Hok Gie, seperti “Zaman Peralihan” yang berisi pemikiran Soe Hok Gie tentang berbagai persoalan, “Catatan Harian Seorang Demonstran” yang menjadi materi utama film “Gie”, “Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, dan bahkan sejumlah buku baru tentang Soe Hok Gie pun tiba-tiba beredar di toko buku. Pemikiran Hok Gie memang sungguh penting untuk dibaca oleh generasi muda sekarang, yang memang cenderung “jauh” dari politik. Selain itu juga tetap masih relevan karena mencakup hal-hal substansial dalam sejarah bangsa ini. Tak soal apakah bagi penerbit sendiri, buku tentang Gie diterbitkan kembali semata-mata atas pertimbangan bisnis atau profit.

Polemik sempat merebak. Tapi lepas dari segala macam polemik tentang film karya Riri Riza maupun tentang buku-buku Gie, saya merasa ingin menampilkan Gie dalam catatan rabu pagi di minggu pertama bulan Oktober ini, karena tiba-tiba saya ingat bahwa pada tanggal 1 (atau tanggal 5) Oktober adalah hari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau Hari Kesaktian Pancasila. Saya sungguh tidak ingat persisnya. Dan Presiden kita saat ini yang baru menaikkan harga BBM sampai 70-80% itu, adalah seorang ABRI yang seharusnya melindungi rakyat, bangsa, dan negara kita, yang seharusnya berjuang tanpa pamrih sebagaimana yang pernah dilakukan Soe Hok Gie.

Itu saja. Selamat hari rabu pagi.


frg