Tuesday, December 06, 2005

From Art to Human Dignity

give your hands to human dignity
catatan rabu pagi 12


Selasa siang ini saya menemukan sebuah slogan di kepala saya: from art to human dignity. Keren. Cool. Dari Seni Menuju Martabat Manusia”. Apa konteks slogan itu? Anda pasti bertanya-tanya. Baik, saya ceritakan sedikit. Sekitar awal tahun 2000, saya mendirikan sebuah organisasi. Namanya PSI atawa Perkumpulan Seni Indonesia. Penggagas organisasi ini adalah saya, yang kemudian mendapat dukungan dari Arahmaiani (perupa, seniman multimedia), Nezar Patria (wartawan dan aktivis), Seno Gumira Ajidarma (penulis), dan Sita Aripurnami (aktivis). PSI kemudian berdiri tanpa seremonial deklarasi macam partai politik yang suka pesta pora dengan uang hasil korupsi.
PSI langsung bekerja mementaskan naskah kampanye human rights terhadap kasus penculikan sejumlah aktivis pada tahun 1997-1998. Naskah yang ditulis Seno Gumira itu berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami”. PSI mementaskannya berturut-turut di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung selama pertengahan tahun 2000. Pertunjukan di 3 kota itu sukses besar. Sebuah bentuk kampanye baru dalam memperjuangkan hak asasi manusia yang juga dilakukan antara lain oleh Widji Thukul dan Ratna Sarumpaet, dikibarkan oleh PSI. Tanpa slogan, tanpa seremonial apapun, PSI berdiri dan berkiprah.
Kegiatan selanjutnya yang digelar PSI adalah pembacaan cerpen karya saya yang terkumpul dalam buku Zarima; Kumpulan Cerpen (bukan) Pilihan Kompas oleh Rieke Dyah Pitaloka, Butet Kertaredjasa, Baby Jim Aditya, dan Jose Rizal Manua. Berbeda dengan pembacaan cerpen umumnya yang dilakukan di gedung pertunjukan atau di kampus atau di kafe, pembacaan kumpulan cerpen saya dilakukan di dalam penjara wanita Tangerang! Acara ini pun sukses besar, media massa memberitakannya dalam berbagai tulisan. Hanya Kompas yang memuat beritanya di rubrik Nama & Peristiwa dengan mewawancarai Butet Kertaredjasa. Lucunya, rubrik kecil itu hanya menulis acara pembacaan cerpen tanpa menyebutkan karya siapa. Mungkin karena cerpen yang dibacakan adalah kumpulan cerpen (bukan) pilihan Kompas! Butet sendiri menegaskan bahwa ia menyebut nama saya ketika diwawancarai oleh wartawan Kompas; kalau tidak salah Efix Mulyadi atau mungkin Bre Redana.
Itulah dua kegiatan PSI di awal-awal berdirinya. Selanjutnya, karena satu dan lain hal, PSI vakum selama setidaknya dua-tiga tahun. Tapi PSI tetap hidup di hati dan jiwa saya sehingga kemudian pada tahun 2005, sejak Januari sampai Desember, PSI menggelar pementasan monolog Matinya Seorang Pejuang di delapan kota yang mengangkat kasus pembunuhan Munir sebagai materinya. Dalam kegiatan ini, PSI bekerja atas nama Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM) sedangkan dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”, PSI bekerja atas nama Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan).
Setelah kegiatan sepanjang tahun 2005 inilah, saya tiba-tiba terhenyak dan menyadari betapa PSI telah menjadi mahkluk hidup yang tumbuh setelah saya lahirkan. Saya merasa harus bertanggungjawab lebih serius untuk terus menumbuhkan dan membesarkannya. Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan slogan keren di kepala saya sebagai tekad dan semangat untuk terus menghidupkan PSI.


From Art to Human Dignity.
Karena seni memang harus menjaga keluhuran martabat manusia! (frg)