Maaf
Catatan rabu pagi 8
Rabu pekan lalu, tidak ada catatan rabu pagi. Saya bisa mengemukakan banyak alasan untuk ketidakhadiran ini. Mulai dari alasan yang benar-benar rasional sampai alasan yang sangat tidak rasional alias sangat mengada-ada. Alasan yang rasional misalnya, saya diundang oleh Frankfurt Book Fair, bersama sejumlah penerbit buku anak dan remaja dari Iran, Turki, Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon, untuk berbicara tentang penerbitan buku anak dan remaja di negara masing-masing. Sebuah forum yang sangat menarik dan membuat saya lupa untuk menulis catatan rabu pagi pekan lalu. Ini alasan yang rasional, bermutu dan serius.
Alasan yang tidak bermutu dan mengada-ada, misalnya, saya sengaja tidak menulis catatan rabu pagi pekan lalu karena saya ingin membuat sebuah eksperimen tentang relasi-relasi di dunia internet melalui ketidakhadiran sebuah tulisan yang biasanya hadir setiap rabu pagi. Apakah ketidakhadiran tersebut mengakibatkan sebuah hari rabu menjadi tidak lengkap bagi sejumlah orang? Apakah keseimbangan di dunia internet terganggu karenanya? Lantas faktor substansial apakah yang menentukan ritme kehidupan rutin di dunia internet itu? Tentu saja semua pertanyaan sok filosofis di atas adalah mengada-ada bila dijadikan sebagai alasan ketidakhadiran tulisan saya. Tapi mungkin patut juga iseng-iseng direnungkan dan dicari jawabannya tanpa melibatkan soal ketidakhadiran catatan rabu pagi saya.
Begitulah kita. Kita adalah para pembuat alasan sepanjang hidup kita. Kita selalu membuat alasan untuk membenarkan diri kita. Entah berapa banyak waktu, energi, dan kreativitas yang kita habiskan sepanjang hidup kita hanya untuk membuat alasan-alasan. Tak ada yang tahu. Tak ada yang pernah menghitung. Efek paling buruk dari mentalitas manusia-manusia pembuat alasan adalah sebuah lingkaran pembenaran tak berujung yang menyesatkan hati pada wilayah kering kerontang tanpa kesejukan sebuah maaf. Ya, manusia-manusia pembuat alasan sulit untuk benar-benar meminta maaf secara tulus, sekalipun pada kesempatan Idul Fitri.
Hati manusia-manusia pembuat alasan kering dan gersang. Maaf menjadi sesuatu yang tak lebih dari sebuah basa-basi paling basi. Mengakui sebuah kesalahan menjadi sebuah pilihan yang tak kan benar-benar dipilih. Mungkin terlontar kata maaf, tapi itu hanya suara tanpa makna. Verbalisme klise. Dan semua tak kan pernah berubah. Manusia-manusia pembuat alasan tak kan pernah berubah. Mereka anti perubahan. Mereka seperti para penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan menolak segala bentuk perubahan. Sekecil apapun. Bila sekali waktu Anda pernah bertanya, mengapa bangsa kita menjadi bangsa terkorup ke 3 atau ke 4 di dunia, maka salah satu jawabannya adalah karena bangsa kita, para politisi, pejabat, dan tokoh-tokoh bangsa kita, dipenuhi oleh manusia-manusia pembuat alasan. Juga kaum intelektual kita, budayawan, dan para pejuang hak asasi juga.
Bila sekali waktu Anda pernah bertanya “mengapa bangsa kita susah sekali maju dan ketinggalan jauh disbanding negera Asia lainnya?” Maka jawabannya sama. Dunia industri dan berbagai sektor pembangunan dipenuhi oleh para koruptor yang sekaligus juga merupakan manusia-manusia pembuat alasan nomer wahid.
Saya hanya ingin meminta maaf untuk ketidakhadiran tulisan saya pekan lalu, dan inipun tetap dengan sebuah “upaya membuat alasan-alasan”. Itulah kita. Tapi dalam kesempatan ini saya benar-benar ingin meminta maaf tanpa alasan. Saya lalai, saya alpa, saya tidak memenuhi kewajiban yang saya canangkan sendiri, dan untuk itu saya minta maaf. Titik. Tanpa alasan. Saya rasa begitulah seharusnya sebuah maaf. Apalagi sebuah maaf di hari yang suci. Selamat hari raya Idul Fitri 1426. Mohon maaf lahir batin.
frg
Rabu pekan lalu, tidak ada catatan rabu pagi. Saya bisa mengemukakan banyak alasan untuk ketidakhadiran ini. Mulai dari alasan yang benar-benar rasional sampai alasan yang sangat tidak rasional alias sangat mengada-ada. Alasan yang rasional misalnya, saya diundang oleh Frankfurt Book Fair, bersama sejumlah penerbit buku anak dan remaja dari Iran, Turki, Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon, untuk berbicara tentang penerbitan buku anak dan remaja di negara masing-masing. Sebuah forum yang sangat menarik dan membuat saya lupa untuk menulis catatan rabu pagi pekan lalu. Ini alasan yang rasional, bermutu dan serius.
Alasan yang tidak bermutu dan mengada-ada, misalnya, saya sengaja tidak menulis catatan rabu pagi pekan lalu karena saya ingin membuat sebuah eksperimen tentang relasi-relasi di dunia internet melalui ketidakhadiran sebuah tulisan yang biasanya hadir setiap rabu pagi. Apakah ketidakhadiran tersebut mengakibatkan sebuah hari rabu menjadi tidak lengkap bagi sejumlah orang? Apakah keseimbangan di dunia internet terganggu karenanya? Lantas faktor substansial apakah yang menentukan ritme kehidupan rutin di dunia internet itu? Tentu saja semua pertanyaan sok filosofis di atas adalah mengada-ada bila dijadikan sebagai alasan ketidakhadiran tulisan saya. Tapi mungkin patut juga iseng-iseng direnungkan dan dicari jawabannya tanpa melibatkan soal ketidakhadiran catatan rabu pagi saya.
Begitulah kita. Kita adalah para pembuat alasan sepanjang hidup kita. Kita selalu membuat alasan untuk membenarkan diri kita. Entah berapa banyak waktu, energi, dan kreativitas yang kita habiskan sepanjang hidup kita hanya untuk membuat alasan-alasan. Tak ada yang tahu. Tak ada yang pernah menghitung. Efek paling buruk dari mentalitas manusia-manusia pembuat alasan adalah sebuah lingkaran pembenaran tak berujung yang menyesatkan hati pada wilayah kering kerontang tanpa kesejukan sebuah maaf. Ya, manusia-manusia pembuat alasan sulit untuk benar-benar meminta maaf secara tulus, sekalipun pada kesempatan Idul Fitri.
Hati manusia-manusia pembuat alasan kering dan gersang. Maaf menjadi sesuatu yang tak lebih dari sebuah basa-basi paling basi. Mengakui sebuah kesalahan menjadi sebuah pilihan yang tak kan benar-benar dipilih. Mungkin terlontar kata maaf, tapi itu hanya suara tanpa makna. Verbalisme klise. Dan semua tak kan pernah berubah. Manusia-manusia pembuat alasan tak kan pernah berubah. Mereka anti perubahan. Mereka seperti para penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan menolak segala bentuk perubahan. Sekecil apapun. Bila sekali waktu Anda pernah bertanya, mengapa bangsa kita menjadi bangsa terkorup ke 3 atau ke 4 di dunia, maka salah satu jawabannya adalah karena bangsa kita, para politisi, pejabat, dan tokoh-tokoh bangsa kita, dipenuhi oleh manusia-manusia pembuat alasan. Juga kaum intelektual kita, budayawan, dan para pejuang hak asasi juga.
Bila sekali waktu Anda pernah bertanya “mengapa bangsa kita susah sekali maju dan ketinggalan jauh disbanding negera Asia lainnya?” Maka jawabannya sama. Dunia industri dan berbagai sektor pembangunan dipenuhi oleh para koruptor yang sekaligus juga merupakan manusia-manusia pembuat alasan nomer wahid.
Saya hanya ingin meminta maaf untuk ketidakhadiran tulisan saya pekan lalu, dan inipun tetap dengan sebuah “upaya membuat alasan-alasan”. Itulah kita. Tapi dalam kesempatan ini saya benar-benar ingin meminta maaf tanpa alasan. Saya lalai, saya alpa, saya tidak memenuhi kewajiban yang saya canangkan sendiri, dan untuk itu saya minta maaf. Titik. Tanpa alasan. Saya rasa begitulah seharusnya sebuah maaf. Apalagi sebuah maaf di hari yang suci. Selamat hari raya Idul Fitri 1426. Mohon maaf lahir batin.
frg
<< Home