Tuesday, November 15, 2005

S-e-p-i

catatan rabu pagi 9


Selama setidaknya satu minggu setiap tahun, Jakarta menjadi kota yang sepi dan nyaman. Jalanan kosong, kantor-kantor senyap, café-café lengang. Tidak ada kemacetan, tidak ada suara klakson dan cacimaki, tidak ada wajah-wajah letih yang menatap kosong ke masa depan. Parkiran gedung DPR kosong melompong. Para anggota dewan yang biasanya mangkir dari sidang-sidang untuk “mewakili dan menyuarakan” suara rakyat, menghilang entah kemana. Mungkin berlibur lebaran ke New York, Paris, atau “hanya” Bali, bersama para pengusaha yang menjadi relasi mereka. Tapi mungkin juga mereka ikut menjadi rakyat dengan ramai-ramai mudik ke kampung halaman.

Sepinya Jakarta di saat libur lebaran adalah sebuah sepi yang ramai. Ada hiruk-pikuk kegelisahan di dalamnya. Ada keresahan, ada kemarahan, ada kekacauan yang mengisi sepi itu. Sepi semacam ini mulai dirasakan oleh Suciwati, istri almarhum Munir yang kasus pembunuhannya masih gelap gulita meski satu tahun lebih telah berlalu. Saya bertemu sejumlah teman yang juga teman baiknya Munir dan membicarakan betapa lemahnya komitmen kita untuk memperjuangkan sesuatu. Setelah setahun berlalu, upaya-upaya yang dilakukan teman-teman Munir untuk mengungkap kasusnya terlihat semakin lemah.

Sebelumnya, ketika pertama kali mengetahui Munir benar-benar dibunuh, banyak sekali teman-teman almarhum Munir yang mengepalkan tangan dan berkomitmen untuk berjuang mengungkap kasus pembunuhan Munir sampai tuntas. Tangan terkepal, rahang mengeras, dan mata nyalang penuh kemarahan. Berjuang! Lawan! Berjuang sampai dalangnya ditangkap dan diadili. Komitmen ini saya saksikan antara lain dalam acara 40 hari kematian Munir di Perpustakaan Nasional pada bulan Oktober 2004. Saya terharu dan merasa optimis pada komitmen tersebut.

Kini semua orang ditantang untuk konsisten pada komitmennya. Tapi kini juga Suciwati mulai merasa sepi. Mulai merasa sendiri. Mulai melihat betapa sulitnya memegang sebuah komitmen. Betapa beratnya beban sebuah komitmen. Sulit dan beratnya komitmen inilah yang mungkin membuat orang-orang mulai lelah dan kehabisan energi. Lalu, seperti biasa, orang-orang mulai membuat alasan-alasan untuk membenarkan dan memaafkan dirinya sendiri. Akibatnya, semua kembali sepi. Semua kembali seperti semula. Perubahan radikal, perjuangan revolusioner, komitmen tanpa kompromi, semua hanya dongeng pengantar tidur bagi orang-orang yang dikenal sebagai para pejuang kemanusiaan. Inipun jika masih ada pendongeng yang mau mendongengkannya karena dongeng Harry Potter jelas jauh lebih menarik.

“Tapi aku tetap optimis ada orang-orang yang mampu memegang dan berjuang untuk sebuah komitmen!”
Suci mengangguk. Pernyataan optimis saya siang itu mudah-mudahan bisa menghilangkan sepi yang mulai menteror dirinya.

Hari itu, Selasa, 15 November 2005, kebetulan ruang sidang di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat juga sepi. Tidak ada saksi yang hadir untuk persidangan kasus pembunuhan Munir yang entah ke berapa. Di jalanan depan pengadilan, libur lebaran sudah berakhir dan Jakarta kembali ramai oleh bising klakson dan cacimaki. Dan sebuah perjuangan harus segera dimulai kembali. (frg)