Monday, December 19, 2005

I-B-U

Catatan Rabu Pagi 14

Sejak Senin kemarin, setiap saya mendengarkan siaran beberapa radio saat terjebak kemacetan Jakarta yang tak pernah berkurang, sejumlah penyiar membahas tema yang sama: Ibu. Ya, tanggal 22 Desember nanti adalah Hari Ibu. Saya langsung terkenang almarhumah ibu saya yang meninggal tahun 1994 karena kanker rahim. Ibu. Mami. Mama. Bunda. Nyokap. Apapun dan bagaimanapun kita memanggilnya, tetap terasa kedalaman hubungan khas seorang ibu dengan anak-anaknya. Tetap terasa ketulusan cinta kasih seorang ibu pada anaknya.

Ibu saya adalah seorang perempuan luar biasa. Seorang perempuan tangguh yang tetap tegar dalam hempasan badai kehidupan. Di saat kesulitan ekonomi menghantam, Ibu berjuang membantu ayah saya dengan berbagai usaha. Di saat krisis kepercayaan melanda diri ayah saya, Ibu menguatkannya dengan tetap berada di sisi Ayah dan anak-anaknya. Dia juga tegas dan berani. Ia selalu siap membela anak-anaknya dari ancaman dan bahaya apapun. Saya masih ingat betul bagaimana ia meminta saya untuk merayakan ulang tahun anak pertama saya di tengah penderitaannya yang menghebat oleh kanker jahanam itu. Saya juga masih ingat betul betapa saya kerap melukai hatinya tapi ia selalu memaafkan. Saya memang keras hati. Keras kepala. Tapi Ibu tetap menyayangi saya dengan tulus. Seperti syair lagu Iwan Fals.
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah
Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu kumembalas
Ibu…
Ibu…
Mendengar celoteh para penyiar tentang Ibu sepanjang hari, saya rasanya benar-benar ingin menangis. Bayangan penderitaannya selama beberapa tahun melawan kanker rahim jahanam sebelum ajal menjemputnya, kembali menari-nari di benak saya. Tubuhnya yang habis digerogoti sel-sel kanker, rambutnya yang rontok habis akibat kemoterapi, dan kekuatannya menghadapi penyakit itu, muncul seperti rekaman video yang diputar slow-motion. Saya pun tiba-tiba sadar, betapa banyak kesalahan yang telah saya lakukan selama hidupnya, betapa banyak saya menyakiti hatinya hanya karena kekeraskepalaan dan kekerashatian saya.

Saya tiba-tiba sadar bahwa saya belum cukup meminta ampun padanya. Tapi saya tahu, maaf dan ampun tidak lagi diperlukan sekarang. Apa yang penting adalah memenuhi harapan Ibu agar saya menjadi manusia yang berguna bagi sesamanya. Manusia yang berani berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Itulah seluruh harapan dan keinginan Ibu terhadap hidup saya. Tapi meskipun begitu, dalam kesempatan ini, melalui Catatan Rabu Pagi ini, saya untuk entah keberapa ribu kalinya, memohon maaf dan ampun kepadamu, IBU. (frg)