Orang-Orang Pilihan (2)
Catatan rabu pagi 18
Samaah Idris adalah seorang penulis buku anak di Lebanon. Berbeda dengan penulis buku anak di Indonesia yang umumnya berlatar belakang guru, ibu rumah tangga, atau pegawai biasa di sebuah instansi, Samaah Idris adalah seorang aktivis radikal penentang imperialisme baru dari negara-negara Barat. Ia melakukan banyak aksi boikot terhadap produk-produk Amerika, termasuk Coca Cola dan McDonald. Saya terperangah. Saya mengenal dan berteman baik dengan banyak aktivis Indonesia yang juga menentang imperialisme baru dan banyak dipengaruhi pemikiran sosialis, tapi rasanya saya tidak pernah mendengar wacana pemboikotan semacam itu. Mungkin karena persoalan politik yang sama sekali berbeda.
Dalam obrolan saya dengan Samaah, saya sempat bertanya “Apa ada artinya gerakan boikot semacam itu?”. Jangan-jangan hanya sekadar gerakan anti-Amerika tanpa makna dan manfaat. Samaah, dengan sedikit tersinggung menjelaskan, bahwa gerakan boikot semacam itu adalah sebuah perlawanan yang sangat substansial terhadap penyebaran nilai-nilai baru melalui berbagai bentuk gaya hidup. Boikot yang dilakukannya adalah sebuah gerakan kebudayaan. Samaah Idris sangat khawatir negara-negara Timur akan kehilangan kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang mendasari masyarakatnya. Kita pun kerap mendiskusikan tema ini dalam berbagai bidang kehidupan. Saya paham, tapi tetap tidak paham mengapa aktivis-aktivis teman baik saya tidak seserius Samaah dalam wacana ini.
“Kita harus berani membatasi diri. Kalau kita memang tidak perlu minum Coca Cola mengapa kita harus meminumnya juga?” Itulah kunci gerakan boikot sebagai gerakan kultural yang pernah dilakukan Samaah Idris. Berani membatasi diri. Ini adalah kata kunci untuk menentang dan melawan racun keserakahan yang disebarkan oleh kapitalisme dan konsumerisme. Bisakah kita melakukannya? Saya ingin mengajukan pertanyaan ini pada Anda semua, pada siapa saja yang kebetulan mampir di blog saya di Rabu pagi ini. Bisakah kita menolak Mercedes Benz dan merasa cukup hanya dengan sebuah Minibus?
Saya tidak tahu apakah kita bisa atau tidak. Tapi seorang pemilik warung makan tenda di sebuah gang di Jl. Kaliurang, Jogjakarta, jelas bisa melakukannya. Warung tenda itu menyajikan menu nasi goreng Magelangan seharga tiga ribu rupiah, cah kangkung tiga ribu lima ratus rupiah, fu yung hai seharga cah kangkung, dan menu-menu lainnya dengan harga sekitar Rp 3000,-. Saya terperangah, sama seperti saya terperangah oleh Samaah Idris. Dengan rasa masakan yang sungguh enak (ini terbukti dari antrian panjang pembeli), dan mengingat harga semua bahan pokok yang melambung tinggi, seharusnya dia cukup memiliki alasan (sufficient reason) untuk sedikit menaikkan harga makananya menjadi rata-rata 5000 perak, misalnya. Tapi Bapak pemilik warung tenda itu tidak melakukannya, setidaknya sampai saya makan di warungnya pada tanggal 31 Januari 2006.
Saya tidak ingin mendramatisir apapun. Saya tidak akan memberi “gelar” pada si bapak pemilik warung sebagai “orang pilihan” (lagi pula siapa saya? Memangnya saya Rektor Universitas apa pakai memberi “gelar” segala?). Saya hanya ingin menceritakan tentang Bapak yang saya tidak tahu namanya itu karena saya kagum dan menghormatinya seperti saya kagum dan menghormati teman-teman aktivis saya di negeri tercinta ini maupun di Lebanon seperti Samaah Idris.
frg
ps: Maaf, minggu lalu saya absen.
Samaah Idris adalah seorang penulis buku anak di Lebanon. Berbeda dengan penulis buku anak di Indonesia yang umumnya berlatar belakang guru, ibu rumah tangga, atau pegawai biasa di sebuah instansi, Samaah Idris adalah seorang aktivis radikal penentang imperialisme baru dari negara-negara Barat. Ia melakukan banyak aksi boikot terhadap produk-produk Amerika, termasuk Coca Cola dan McDonald. Saya terperangah. Saya mengenal dan berteman baik dengan banyak aktivis Indonesia yang juga menentang imperialisme baru dan banyak dipengaruhi pemikiran sosialis, tapi rasanya saya tidak pernah mendengar wacana pemboikotan semacam itu. Mungkin karena persoalan politik yang sama sekali berbeda.
Dalam obrolan saya dengan Samaah, saya sempat bertanya “Apa ada artinya gerakan boikot semacam itu?”. Jangan-jangan hanya sekadar gerakan anti-Amerika tanpa makna dan manfaat. Samaah, dengan sedikit tersinggung menjelaskan, bahwa gerakan boikot semacam itu adalah sebuah perlawanan yang sangat substansial terhadap penyebaran nilai-nilai baru melalui berbagai bentuk gaya hidup. Boikot yang dilakukannya adalah sebuah gerakan kebudayaan. Samaah Idris sangat khawatir negara-negara Timur akan kehilangan kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang mendasari masyarakatnya. Kita pun kerap mendiskusikan tema ini dalam berbagai bidang kehidupan. Saya paham, tapi tetap tidak paham mengapa aktivis-aktivis teman baik saya tidak seserius Samaah dalam wacana ini.
“Kita harus berani membatasi diri. Kalau kita memang tidak perlu minum Coca Cola mengapa kita harus meminumnya juga?” Itulah kunci gerakan boikot sebagai gerakan kultural yang pernah dilakukan Samaah Idris. Berani membatasi diri. Ini adalah kata kunci untuk menentang dan melawan racun keserakahan yang disebarkan oleh kapitalisme dan konsumerisme. Bisakah kita melakukannya? Saya ingin mengajukan pertanyaan ini pada Anda semua, pada siapa saja yang kebetulan mampir di blog saya di Rabu pagi ini. Bisakah kita menolak Mercedes Benz dan merasa cukup hanya dengan sebuah Minibus?
Saya tidak tahu apakah kita bisa atau tidak. Tapi seorang pemilik warung makan tenda di sebuah gang di Jl. Kaliurang, Jogjakarta, jelas bisa melakukannya. Warung tenda itu menyajikan menu nasi goreng Magelangan seharga tiga ribu rupiah, cah kangkung tiga ribu lima ratus rupiah, fu yung hai seharga cah kangkung, dan menu-menu lainnya dengan harga sekitar Rp 3000,-. Saya terperangah, sama seperti saya terperangah oleh Samaah Idris. Dengan rasa masakan yang sungguh enak (ini terbukti dari antrian panjang pembeli), dan mengingat harga semua bahan pokok yang melambung tinggi, seharusnya dia cukup memiliki alasan (sufficient reason) untuk sedikit menaikkan harga makananya menjadi rata-rata 5000 perak, misalnya. Tapi Bapak pemilik warung tenda itu tidak melakukannya, setidaknya sampai saya makan di warungnya pada tanggal 31 Januari 2006.
Saya tidak ingin mendramatisir apapun. Saya tidak akan memberi “gelar” pada si bapak pemilik warung sebagai “orang pilihan” (lagi pula siapa saya? Memangnya saya Rektor Universitas apa pakai memberi “gelar” segala?). Saya hanya ingin menceritakan tentang Bapak yang saya tidak tahu namanya itu karena saya kagum dan menghormatinya seperti saya kagum dan menghormati teman-teman aktivis saya di negeri tercinta ini maupun di Lebanon seperti Samaah Idris.
frg
ps: Maaf, minggu lalu saya absen.
<< Home