Wednesday, March 08, 2006

Memahami Seksualitas, Menolak RUU APP

Catatan Rabu Pagi 19

Tidak akan ada lagi ekspresi seksualitas sekecil apa pun. Tidak akan ada lagi pornografi. Mungkinkah? Dua kata yang tidak atau belum tentu dipahami dengan benar itu, kini menjadi materi penting dalam Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Pornoaksi sendiri tergolong kosakata baru. Tak jelas apa definisinya. Tentu bahasa memang sesuatu yang hidup dan berkembang, tapi ini wilayah dan pekerjaan para sastrawan atau para linguis, bukan wilayah para anggota DPR, agamawan, atau kaum moralis. Apalagi kaum hipokrit. Mereka semua tidak bisa serta-merta menuliskan sebuah kosakata dengan pengertian tambal sulam macam tukang tambal ban untuk sebuah rancangan undang-undang.
Sebuah RUU seharusnya bertumpu pada kebenaran-kebenaran substansial dari berbagai wilayah pemikiran. Pada objek seksualitas, cakupan bahasannya menjadi sangat luas karena seks memang memiliki korelasi langsung dengan berbagai aspek kehidupan sosial-politik-budaya (relasi eksternal) dan berbagai dimensi dalam eksistensi manusia (relasi internal) seperti biologis, psikologis, kimiawi, medik, dan bahkan aspek relijius atau spiritual. Seks dalam aspek sosialnya adalah berbagai bentuk hubungan antara dua orang manusia, baik antara lelaki dan perempuan (heteroseksual), perempuan dengan perempuan atau lelaki dengan lelaki (homoseksual), sebagai bagian dari suatu masyarakat. Ada tarik-menarik, ada ketegangan, ada toleransi, ada perjodohan, dan juga ada “penyimpangan-penyimpangan”. Secara gampangnya, berbicara tentang seksualitas adalah berbicara tentang hubungan antara satu orang dengan orang lainnya dalam berbagai ekspresi personal yang muncul sebagai dorongan kodrati manusia sebagai mahkluk sosial.
Secara politis, seks adalah objek yang sangat diperlukan oleh rejim kekuasaan mana pun karena bisa menjadi alat kontrol perilaku rakyat yang efisien, efektif, dan mengakar jauh dalam kehidupan setiap orang. Bagaimana seks bisa menjadi alat kontrol kekuasaan terhadap rakyat? Kontrol dimulai sejak seorang manusia dilahirkan. Seseorang harus dilahirkan dalam sebuah lembaga bernama perkawinan, karena jika seseorang lahir di luar lembaga perkawinan, ia akan sulit mendapatkan surat kelahiran. Ia akan disebut sebagai anak haram. Ini adalah bentuk kontrol kekuasaan melalui objek seksualitas secara langsung. Tak seorang pun mau dan senang dicap sebagai anak haram. Selanjutnya, kekuasaan melalui norma-norma agama, sosial, atau moralitas lainnya, akan terus mengontrol seseorang melalui perilaku seksualnya.
Untuk urusan kebudayaan, seks boleh dibilang menjadi fondasi terpenting yang membentuk kebudayaan sebuah masyarakat. Mulai dari tinjauan kosmologis sampai metafisika, sebuah kebudayaan pasti berdasarkan pada pola hubungan antara manusia dengan alamnya yang menghasilkan berbagai bentuk ekspresi yang mencerminkan hubungan tersebut. Saat berhadapan dengan alam semesta, manusia harus mengatur kehidupannya agar tidak merusak atau menghancurkan alam. Harus ada upaya untuk menjamin keberlangsungan kehidupan bersama antara manusia dengan alamnya. Untuk sesama manusia hal ini berkaitan langsung dengan seksualitasnya. Seks sebagai kegiatan pro-kreasi atau regenerasi. Dalam konteks ini, seks dipahami sebagai harmoni hasil peleburan dualisme berbagai unsur yang terdapat pada alam semesta. Langit-bumi, siang-malam, terang-gelap, baik-buruk, lelaki-perempuan, dst-dst.
Rumit? Mungkin memang rumit, dan justru karena itulah mengatur pornografi juga adalah perkara yang pelik. Perkara yang tidak bisa secara gegabah diatur berdasarkan satu-dua aspek saja dari seksualitas. Itu baru bicara sekilas tentang relasi-relasi eksternal dari seksualitas. Mau lebih rumit? Mari kita masuk ke relasi-relasi internal dari seksualitas. Pertama kita harus berbicara tentang seluruh nilai yang mengendap dalam diri kita sebagai manusia yang unik. Artinya, kita tidak bisa menyamakan orang Sunda dengan orang Batak atau orang Jawa dengan orang Manado atau orang Islam dengan orang Hindu. Aspek pertama dari seksualitas dalam wilayah internal eksistensi kita, adalah bicara tentang tubuh. Tubuh sebagai syarat mutlak sebuah ekspresi dan fungsi seksualitas kita. Apakah tubuh itu sepenuhnya hak kita yang tak bisa diganggu gugat? Apakah tubuh itu milik para dewa di langit ketujuh? Setiap kebudayaan memiliki pandangannya sendiri yang mungkin berbeda satu sama lain. Dan semua pandangan itu sah adanya.
Jika pada abad milenium ini, tiba-tiba nyelonong sebuah RUU APP yang bermaksud mengatur ekspresi seksualitas secara keseluruhan dan menggeneralisirnya berdasarkan satu pandangan saja, maka tidak bisa tidak, hal itu harus ditolak! Saya tidak meragukan niat baik yang melandasi pemikiran tentang RUU APP tersebut, tetapi niat baik itu bisa menjadi sebuah bencana bagi kehidupan yang wajar dan manusiawi yang telah berlangsung selama berabad-abad dalam berbagai ragam kebudayaan di seluruh belahan dunia. Dalam budaya pop di dunia modern saat ini, apa yang terjadi sebenarnya juga telah terjadi dalam budaya klasik nenek moyang kita. Jadi jika kita melihat anak-anak remaja berpakaian tanktop yang memperlihatkan pusar, sebenarnya tak ada bedanya dengan kita melihat eyang putri kita di pekarangan rumah memakai kebaya tanpa stagen yang juga membuat udelnya terlihat. Jika kita melihat gambar tubuh perempuan seronok di tabloid-tabloid panas, maka ribuan tahun lalu pun kita bisa melihatnya di pahatan dinding-dinding candi Sukuh.
Yang paling penting dalam menyikapi keterbukaan zaman yang telah membuat seks menjadi sebuah komoditas unggulan, adalah pemahaman terhadap seksualitas yang baik dan menyeluruh. Bukan mengekang, melarang, memberangus, dan membunuh ekspresi-ekspresi seksualitas yang masih normal dalam ranah publik. Ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah apa pun! Ini hanya akan memicu berbagai masalah dan konflik horisontal yang bisa mengakibatkan perpecahan! Yang diperlukan adalah penegakan hukum. Supremasi hukum yang menjamin hak dan kewajiban setiap orang secara adil, tegas, dan berwibawa. Supremasi hukum yang menjamin hak hidup setiap kebudayaan dan menindak orang-orang yang mencoba merusaknya.
Dengan hukum semacam itu, kita tak perlu khawatir akan ada orang melakukan perkosaan hanya karena melihat goyang ngebor Inul atau melihat penari Jaipong melenggak-lenggok. Itulah yang perlu dicegah, bukan justru memberangus Inul dan para penari Jaipong. Saya yakin kita tidak sebodoh itu. Saya percaya, kita dianggap sebagai bangsa besar karena kebudayaan besar yang kita warisi dari nenek moyang kita. Saya rasa kita tak akan membiarkan warisan besar, yang menjadikan kita sebagai bangsa yang dianggap besar itu, direnggut oleh rancangan undang-undang yang salah kaprah.
Mari kita tolak RUU APP! (frg -- setelah lima minggu absen)