Wednesday, June 20, 2007

Haru

catatan rabu pagi 37


Satu perasaan penting yang agak tersisih dari kehidupan manusia modern adalah rasa haru. Mengapa? Sebab rasa haru tidak mudah dimanipulasi seperti halnya rasa sedih atau gembira yang banyak dieksploitasi di sinetron-sinetron secara norak, kampungan, dan over-dramatik. Rasa haru sulit dimanipulasi karena perasaan ini menuntut ketulusan dan empati pada seseorang dalam satu peristiwa yang tidak terkait langsung dengan si pemilik perasaan. Sementara rasa sedih dan/atau gembira nyaris selalu terfokus dan menyangkut langsung sesuatu dalam diri si pemilik perasaan. Kita gembira ketika berhasil mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan, harta berlimpah, mempersunting gadis idaman, atau menjadi terkenal misalnya. Dan kita sedih ketika gagal mendapatkan sesuatu atau kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup kita.

Haru memang jenis perasaaan yang subtil. Saat ini dan berjuta-juta saat sebelum kini, seharusnya kita dikepung oleh rasa haru. Diharu biru oleh begitu banyak peristiwa yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Rasa haru adalah tanda kepedulian seseorang terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Tersisih atau bahkan hilangnya rasa haru berarti tersisih atau hilangnya kepedulian. Untunglah, sekitar seminggu lalu saya masih menemukan seonggok haru di relung hati. Rasa itu menyeruak keluar dari keremangan dan balutan sarang laba-laba yang memenuhi relung hati saya. Ya, saya terharu oleh teman-teman Teater Meldict (Melihat dengan Ilmu dan Cinta) yang semuanya tuna netra atau “tidak awas”, saat tampil membawakan lakon berjudul “Eksekutif Modar” di Goethe Institut (13/6/07) dalam rangkaian acara “Menyimak Cerita, Memihak Kemanusiaan”.

Pementasan singkat Teater Meldict sendiri sangatlah menghibur. Semua pemain tampil total sebagai konglomerat-konglomerat dari berbagai bidang industri, dan para penonton –baik yang tunanetra maupun yang bermata awas—juga berulang kali terpingkal-pingkal. Dan di sela-sela derai tawa itulah rasa haru tiba-tiba menyeruak dan menohok hati dengan telak. Jumlah penonton yang tidak sampai seratusan orang –setengahnya adalah tuna netra—membuat tawa terasa merambat pelan dari satu pojok ke pojok lain. Sebagai salah satu penonton bermata awas, saya mendadak merasakan sebuah ironi menyusup di antara derai tawa para penonton. Tidakkah seharusnya orang-orang bermata awas seperti saya yang menghibur mereka-mereka yang “tidak awas”? Pernahkah pertanyaan ini tebersit sekali saja di hati dan pikiran kita sebelumnya?

Haru juga menohok hati saya ketika sejumlah orang tiba-tiba tergugah oleh keceriaan, semangat, dan ketulusan teman-teman tunanetra dalam menyikapi dan menerima kenyataan hidup mereka. Rina, seorang penyanyi “tidak awas” dari grup band difabel “Diferensia” yang tampil memukau dan sangat ceria membawakan lagu "Sir Duke"-nya Stevie Wonder juga menjadi salah seorang pemicu ketergugahan sejumlah orang bermata “awas” yang menonton penampilannya. Aktor kawakan Didi Petet adalah salah seorang yang tergugah secara spontan menyaksikan kiprah teman-teman tunanetra mengekspresikan diri mereka secara bebas melalui media kesenian dan sekaligus membuktikan bahwa mereka mampu. Didi Petet juga terhenyak oleh haru. Oleh kesadaran yang bangkit sebagai zombie dan langsung meneror hati kita. Ke mana saja mata kita yang “awas” selama ini?

Acara Menyimak Cerita Memihak Kemanusiaan, yang merupakan hasil kolaborasi Yayasan Mitra Netra, Voice of Human Rights News Center, Swiss Embassy, Goethe Institut, dan Perkumpulan Seni Indonesia, memang bukan acara heboh yang diberitakan besar-besaran oleh media massa, tapi secara nyata, acara ini mampu menumbuhkan dan menghidupkan rasa haru semua orang yang terlibat atau menyaksikannya. Saya bahkan semakin terharu menerima telepon dari pianis tunanetra, Yussak, sehari seusai acara. Yussak tidak bicara banyak di telepon, ia hanya mengatakan terima kasih dan rasa bahagianya bisa menjadi bagian dari acara itu. (frg)