Catatan Seputar KPI
Beberapa waktu lalu, setidaknya sejak bulan Agustus 2006 sampai Februari 2007, saya mengikuti seleksi calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia periode 2007-2010. Mulai dari seleksi awal sampai fit and proper test oleh DPR, saya menjadi salah satu kandidat yang “lumayan” menurut versi para pemantau independen. Tapi di DPR saya gugur. Alasannya saya tidak tahu; mungkin karena saya tidak melakukan lobi politik (karena semua sudah menjadi politik dan ekonomi di DPR kita), atau karena alasan lain yang saya tidak akan paham. Selama proses itu saya sempat menulis beberapa catatan tentang KPI yang saya pikir dibuang sayang. Lagi pula, sekian lama saya absen dari catatan rabu pagi (shame on me!), so, inilah beberapa catatan saya:
KPI yang tidak “Jadul”
Seperti apakah KPI yang tidak “jadul”? Jadul, sekadar informasi, adalah akronim gaul anak muda sekarang yang merupakan kependekan dari “jaman dulu”.
Tergelitik oleh pertanyaan itu dan juga kasus Smack Down beberapa waktu lalu yang mengerikan, muncul jawaban sederhana di kepala saya: KPI yang tidak “jadul” adalah KPI yang “gaul”. Segala sesuatu yang berbau “jadul” dalam konotasi negatif (korupsi, kolusi, nepotisme, otoriterianisme, arogansi birokrasi, dan sejenisnya) yang tumbuh subur di era Orde Baru, harus dienyahkan terlebih dulu. Ini syarat mutlak yang tak bisa ditawar. Hal-hal positif dari era “jadul” bisa dicerap dan dijadikan orientasi nilai, meski dalam konteks dunia penyiaran dan informasi, tidak terlalu banyak hal positif yang bisa kita dapat dari era “jadul”.
Ilustrasi yang gamblang untuk menjelaskan syarat tidak “jadul” ini mutlak adalah kegagalan 7 agenda reformasi, terutama pada agenda supremasi hukum, penegakan good governance, penguatan masyarakat sipil, dan reformasi perekonomian. Kegagalan ini, dalam bahasa dan analisa sederhana adalah kegagalan mengenyahkan semua hal negatif yang berbau “jadul”. Dalam bahasa yang lebih radikal dan “ngilmiah”: kita harus memutus-tus rantai sejarah dan memulai lembaran baru yang benar-benar baru. Dan KPI harus menjadi pengisi lembaran baru yang benar-benar baru itu dengan benar-benar menjadi lembaga baru yang tidak “jadul”. Hal ini mutlak dan tidak bisa dikompromikan. Komisi-komisi independen, seperti KPI, KPU, KPK, dan lain-lain sebagai produk reformasi, setidaknya masih bisa diharapkan jika berfungsi dengan baik dan bersih. Untuk itu pertama-tama kita perlu memahami dengan baik soal negosiasi dan kompromi dalam tatanan kehidupan sosial-politik bangsa kita.
Negosiasi dan Kompromi
Banyak pendapat mengatakan kompromi adalah kunci sekaligus seni menjalani hidup dengan sukses. Ini perlu diluruskan. Asumsinya adalah tidak semua hal bisa dan harus dikompromikan. Semua hal mungkin bisa dinegosiasikan, termasuk hal-hal yang tidak bisa dikompromikan. Jadi negosiasi-lah sebenarnya yang merupakan seni dan kunci penting dalam menjalani hidup ini. KPI, misalnya, tidak perlu kompromi dengan tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informasi) maupun oleh lembaga-lembaga penyiaran yang jelas-jelas melanggar UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002.
Menurut anggota Komisi I DPR F-PAN, Tristanti Mitayani, KPI periode 2003-2006 masih sangat sedikit memakai wewenang yang dimilikinya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam relasinya dengan pemerintah. Peran sebagai regulator, bahkan relatif belum “dimainkan”. Padahal tugas dan tanggungjawab KPI sebagai wakil masyarakat sangatlah besar, terutama untuk membuat regulasi-regulasi yang berpihak pada hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sehat, menghibur, dan mencerdaskan.
Dan sebagai regulator dengan kewenangan yang setara dengan Menteri, KPI seharusnya memang tidak perlu banyak kompromi dalam berurusan dengan ketidakberesan-ketidakberesan dari pihak mana pun, apalagi mengingat KPI adalah representasi dari rakyat/publik. Tidak kompromi bukan lantas berarti tidak membuka komunikasi dengan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Komunikasi, entah berupa pengarahan, negosiasi, ataupun diskusi, tetap bisa dan harus dilakukan.
KPI adalah lembaga yang mengurusi kegiatan penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa. Menurut pasal 4 ayat 1 UU No.32 Tahun 2002, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Jadi ketika berurusan dengan pemerintah yang mungkin memiliki kebijakan atau keputusan yang bertentangan, hal yang seharusnya dilakukan adalah menjadikannya sebagai wacana debat publik yang sehat dan demokratis. Untuk menghilangkan hal-hal yang berbau jadul, KPI pasti akan banyak berurusan dengan pihak pemerintah yang memang masih dipenuhi atmosfir jadul di berbagai lapisan birokrasi.
Jadi sebenarnya agak aneh bila kita mempertanyakan KPI yang seperti apakah yang kita butuhkan? Tentu saja KPI yang (anggota-anggotanya) mampu menjalankan fungsi, peran, kewajiban, dan tanggungjawabnya sebagaimana telah ditetapkan dan diatur oleh UU No.32 Tahun 2002. Itulah (anggota-anggota) KPI yang kita butuhkan. Fungsi, peran, kewajiban dan tanggungjawab itu sangatlah berat. Wajar bila KPI yang ada sekarang yang baru berumur tiga tahun mungkin belum secara tuntas memenuhi semua itu. Mungkin baru KPI sepuluh sampai lima belas tahun ke depan yang benar-benar mampu menjalankan fungsi, peran, kewajiban dan tanggungjawabnya. Bagi KPI pengurus baru tiga tahun ke depan, hal paling mendasar dan substansial untuk dicapai adalah meninggalkan segala tradisi dan budaya destruktif-negatif dari era “jadul”. Ini artinya upaya menciptakan sebuah fondasi untuk tatanan kultur yang baru melalui televisi dan radio sebagai sarana penyiaran.
Tugas penting yang dipikul KPI dan para anggota tiga tahun ke depan adalah melakukan program-program kegiatan yang bisa mempercepat atau melakukan akselerasi terhadap pemenuhan semua hal tersebut. Konsentrasi pada konten siaran menjadi sangat prioritas bagi KPI tiga tahun mendatang. Para anggotanya harus memiliki semangat mencintai kebenaran, memiliki integritas yang teruji, memiliki kapasitas intelektual dan leadership yang memadai, dan juga tidak “jadul” tentunya. “Ke-jadul-an” memang menjadi sebuah indikator atau parameter yang cukup penting bila kita ingin menjadikan KPI sebagai lembaga independen yang benar-benar memiliki semangat baru dan berorientasi ke masa depan. Dan untuk tidak “jadul”, KPI harus menjadi KPI yang “gaul” karena hanya dengan “gaul”, KPI akan bisa mencerap persoalan-persoalan dari grass root dan mengatasinya di tingkat regulasi dan kebijakan sebagai wakil dari rakyat yang memperjuangkan dan membela hak rakyat untuk mendapatkan informasi yang bermutu, sehat, mendidik dan mencerdaskan.
Satu fondasi penting untuk mewujudkan KPI yang tidak “jadul” adalah kualitas para anggotanya. Banyaknya persoalan yang harus dihadapi agar menjadi KPI yang tidak “jadul” menuntut pemenuhan kebutuhan akan anggota-anggota yang memiliki etos kerja dan resistensi tinggi. Para anggota yang tidak mengenal kompromi terhadap segala sesuatu yang “jadul”, tetapi sekaligus mampu bernegosiasi untuk mencari solusi terbaik dari setiap persoalan, baik yang muncul dalam relasi dengan pemerintah maupun persoalan dalam relasi dengan industri penyiaran. Dalam bahasa pejabat, dibutuhkan para anggota yang “berjiwa besar” untuk menghadapi semua itu, termasuk untuk mengelola dinamika internal di tubuh KPI sendiri agar tetap dan terus bergerak maju meninggalkan “ke-jadul-an”.[]
<< Home