Anak-anak adalah Keajaiban
catatan rabu pagi
Sesaat setelah gempa menghancurkan sebagian kehidupan di dusun Pengkol, Kelurahan Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kulonprogo, anak-anak terperosok dalam kehidupan yang tak pernah mereka bayangkan. Keceriaan dan kegembiraan mereka direnggut dalam waktu 1 menit saja.
Tapi anak-anak adalah keajaiban. Merekalah yang pertama kali memotivasi para orang tua untuk mempertahankan hidup yang tinggal sepenggal saja. Merekalah yang pertama kali menyentuh hati para dermawan untuk merogoh lebih dalam pundi-pundi uangnya. Mereka jugalah yang pertama tersenyum kembali setelah menghabiskan air mata dalam tangis tanpa suara. Ya, anak-anak adalah keajaiban yang membuat kehidupan terus berjalan menuju masa depan yang lebih baik.
Puluhan anak di Pengkol, persisnya 45 anak berusia 5 sampai 13 tahun, juga membuktikan keajaiban diri mereka. Merekalah yang menggerakkan Miranda, Landung Simatupang, Hari Santoso, Piet Santoso, Ina, Denko, Antok, Ivan, Dewi, dan teman-teman mereka, untuk terus melakukan pendampingan kegiatan menggambar dan menulis (yang sudah dilakukan sejak 1 Juli 2006 lalu), di saat orang-orang—entah petinggi pemerintah ataupun para dermawan—mulai kembali pada kehidupan mereka dan sibuk mengurusi pekerjaan mereka. Ya, anak-anak di Pengkol telah menyatukan dan membulatkan hati para pekerja seni yang tergabung dalam Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) itu, untuk meneruskan pendampingan. Bukan karena hal-hal yang muluk semacam “jiwa besar” atau “hati mulia”, tapi lebih karena “anak-anak adalah keajaiban”.
Bukti lanjut keajaiban itu adalah berdirinya sebuah sanggar dan taman baca yang asri dan indah, meski hanya sederhana. PSI tidak pernah merencanakan membuat sebuah sanggar dan taman baca, sesederhana apa pun. Bukan karena tidak mau, tapi karena memang tidak memiliki sumber daya dan sumber dana. Konsep PSI adalah menyumbangkan tenaga, waktu, dan pikiran karena PSI memang bukan sebuah lembaga yang memiliki sumber finansial tetap. Tapi keajaiban kemudian terjadi karena dan untuk anak-anak itu. Tiba-tiba sejumlah orang muncul dan menawarkan bantuan material bangunan untuk membangun sebuah sanggar baca sederhana yang dimaksudkan sebagai basis kegiatan menggambar dan menulis, dan kegiatan kesenian lainnya. Karena tidak ada dana untuk tukang, masyarakat Pengkol pun menyingsingkan lengan baju dan ternyata mereka bahkan lebih dari tukang bangunan mana pun. Mereka adalah seniman dalam membangun sebuah bangunan.
Ini adalah sebuah keajaiban. Ya, sanggar dan taman pustaka Pengkol ini adalah sungguh sebuah keajaiban. Keajaiban yang melekat pada diri dan kehidupan anak-anak sebagai penggerak kereta kehidupan. [frg]
Sesaat setelah gempa menghancurkan sebagian kehidupan di dusun Pengkol, Kelurahan Gulurejo, Kecamatan Lendah, Kulonprogo, anak-anak terperosok dalam kehidupan yang tak pernah mereka bayangkan. Keceriaan dan kegembiraan mereka direnggut dalam waktu 1 menit saja.
Tapi anak-anak adalah keajaiban. Merekalah yang pertama kali memotivasi para orang tua untuk mempertahankan hidup yang tinggal sepenggal saja. Merekalah yang pertama kali menyentuh hati para dermawan untuk merogoh lebih dalam pundi-pundi uangnya. Mereka jugalah yang pertama tersenyum kembali setelah menghabiskan air mata dalam tangis tanpa suara. Ya, anak-anak adalah keajaiban yang membuat kehidupan terus berjalan menuju masa depan yang lebih baik.
Puluhan anak di Pengkol, persisnya 45 anak berusia 5 sampai 13 tahun, juga membuktikan keajaiban diri mereka. Merekalah yang menggerakkan Miranda, Landung Simatupang, Hari Santoso, Piet Santoso, Ina, Denko, Antok, Ivan, Dewi, dan teman-teman mereka, untuk terus melakukan pendampingan kegiatan menggambar dan menulis (yang sudah dilakukan sejak 1 Juli 2006 lalu), di saat orang-orang—entah petinggi pemerintah ataupun para dermawan—mulai kembali pada kehidupan mereka dan sibuk mengurusi pekerjaan mereka. Ya, anak-anak di Pengkol telah menyatukan dan membulatkan hati para pekerja seni yang tergabung dalam Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) itu, untuk meneruskan pendampingan. Bukan karena hal-hal yang muluk semacam “jiwa besar” atau “hati mulia”, tapi lebih karena “anak-anak adalah keajaiban”.
Bukti lanjut keajaiban itu adalah berdirinya sebuah sanggar dan taman baca yang asri dan indah, meski hanya sederhana. PSI tidak pernah merencanakan membuat sebuah sanggar dan taman baca, sesederhana apa pun. Bukan karena tidak mau, tapi karena memang tidak memiliki sumber daya dan sumber dana. Konsep PSI adalah menyumbangkan tenaga, waktu, dan pikiran karena PSI memang bukan sebuah lembaga yang memiliki sumber finansial tetap. Tapi keajaiban kemudian terjadi karena dan untuk anak-anak itu. Tiba-tiba sejumlah orang muncul dan menawarkan bantuan material bangunan untuk membangun sebuah sanggar baca sederhana yang dimaksudkan sebagai basis kegiatan menggambar dan menulis, dan kegiatan kesenian lainnya. Karena tidak ada dana untuk tukang, masyarakat Pengkol pun menyingsingkan lengan baju dan ternyata mereka bahkan lebih dari tukang bangunan mana pun. Mereka adalah seniman dalam membangun sebuah bangunan.
Ini adalah sebuah keajaiban. Ya, sanggar dan taman pustaka Pengkol ini adalah sungguh sebuah keajaiban. Keajaiban yang melekat pada diri dan kehidupan anak-anak sebagai penggerak kereta kehidupan. [frg]
<< Home