Melawan Hegemoni Budaya Pop
Masih adakah martabat manusia yang luhur dan mulia sebagaimana secara kodrati manusia diyakini adalah mahkluk paling sempurna di muka bumi ini? Mari melihat kenyataan. Kemiskinan, yang karena sedemikian strukturalnya menjadi sangat sulit diuraikan benang merahnya, semakin hari semakin parah di negeri kita yang gemah ripah ini. Sejak masa Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY, masalah kemiskinan tetap tak menemukan solusi yang membuahkan hasil nyata. Kemiskinan jelas membuat kualitas kehidupan manusia terperosok dalam jurang kehinaan. Jangankan martabat yang luhur, makan saja harus mengais dari tong sampah atau mengemis di jalanan. Mengais tong sampah biasanya hanya dilakukan oleh anjing, tikus, atau kecoa got. Bukan oleh manusia. Mengemis? Mungkin hanya bisa dimaklumi pada kondisi-kondisi ekstrim yang dialami manusia.
Dalam sebuah pandangan sederhana, barangkali apa yang dikatakan oleh Dewi “Dee” Lestari, penulis Supernova, ada benarnya. Dee berpendapat bahwa “kemiskinan adalah masalah orang kaya yang tidak mau berbagi.” Sayang, kenyataannya; semakin kaya seseorang, semakin tak mau ia berbagi untuk sesamanya. Sekecil apapun. Keserakahan sepertinya melekat pada setiap pundit kekayaan. Ini yang membutakan mata hati kebanyakan orang kaya.
Selain kemiskinan yang mengandung kekejaman dan kejahatan terhadap manusia, kekejaman dan kejahatan yang sistematis juga terus memerosokan martabat manusia dalam kubangan kenistaan. Sebut saja kriminal-kriminal kelas kampung yang semakin kejam dalam melakukan operasi kejahatan mereka; merampok, menganiaya, memerkosa, sampai memutilasi korban, sampai para penjahat kemanusiaan kelas super kakap atau kelas hiu yang berlindung di balik ketiak kekuasaan yang mereka kangkangi. Semua benar-benar kejam dan tak sedikit pun menghargai harkat dan martabat manusia. Sejak peristiwa G-30-S tahun 65 sampai peristiwa Mei 1998, kekejaman yang meluluhlantakkan martabat manusia sampai pada dimensi penghancuran tubuh manusia sehingga mayat-mayat pun terkapar hangus tanpa bentuk.
Lalu bagaimana memiliki kembali martabat manusia yang sepantasnya? Belum tega rasanya mengajukan pertanyaan ini di saat bencana menghancurkan banyak kehidupan di negara ini. Terbilang sejak SBY naik tahta, cobaan yang luar biasa menghantam kehidupan sebagian rakyat Indonesia. Tentu hal ini tidak bisa serta-merta berhubungan secara langsung satu sama lain. Siapapun presiden yang berkuasa, bencana bisa saja terjadi. Jadi, pertanyaan di atas justru tetap harus diajukan dan dijawab karena menjadi sangat relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Apalagi di saat kita dengan jelas melihat betapa orang masih tega mengkorupsi dana kemanusiaan untuk bantuan bencana. Menurut Andi K Yuwono dari Praxis, hal yang benar-benar nista senista-nistanya itu memang kerap terjadi dalam setiap bencana. Berbagai cerita dari Aceh tentang korupsi dana bantuan kemanusiaan, memang benar-benar mengoyak-oyak nurani.
Dalam pandangan yang optimistik, sebuah gerakan kebudayaan yang tepat bisa menjadi solusi dari terkikisnya martabat manusia dari hari ke hari dalam atmosfir kehidupan masyarakat modern kini. Dalam kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan konsumtif, konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga bergerak menuju arah pergeseran yang sama sehingga dalam apa yang disebut sebagai budaya pop, karakter yang menonjol adalah instan, dangkal, egosentris, dan market oriented. Orientasi pada nilai-nilai kehidupan yang bersifat sosial-kemanusiaan, atau idealisme tertentu dalam hubungan sesama manusia atau hubungan antara manusia dan alam, menjadi sesuatu yang asing dalam kebudayaan popular atau budaya pop. Padahal, orientasi budaya seperti inilah yang sebenarnya mampu menjaga harkat dan martabat manusia.
Budaya pop baru berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan ketika misalnya terjadi bencana atau perang. Bentuk orientasinya pun tidak melekat dalam karya, tapi menjadi kemasan belaka, seperti misalnya konser amal. Budaya pop menjadikan kepedulian sebagai sebuah kemasan belaka, meski mungkin sejatinya mereka peduli. Dalam rentetan bencana yang menimpa sebagian rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir ini, hal ini bisa kita lihat dengan jelas. Kepedulian akhirnya bisa terjebak menjadi sekadar sebuah komoditas yang dilekatkan pada produk budaya tertentu. Dalam bencana gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, para korban gempa bahkan sampai merasa penderitaan mereka dijadikan sebagai objek wisata. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati. Kita melihat orang berbondong-bondong datang mengunjungi desa-desa yang menjadi korban terparah. Sebagian besar yang berniat membantu segera memasang bendera mereka (entah perusahaan, entah LSM, entah Partai Politik, entah lembaga apa lagi) tinggi-tinggi. “Kami peduli”.
Benarkah itu kepedulian? Mungkin benar, tapi mungkin bukan kepedulian yang seharusnya. Kepedulian yang seharusnya terhadap para korban bencana yang menghancurkan kehidupan adalah kepedulian tanpa bendera apapun. Kepedulian yang meniadakan segala kepentingan kelompok, segala macam egosentrisme, dan segala pamrih sekecil apapun. Kepedulian semacam inilah sebenarnya yang harus dibangun dan dihidupkan kembali melalui sebuah gerakan kebudayaan yang membumi dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Alatnya adalah kebudayaan. Karena kebudayaanlah yang mampu menggugah nurani secara tepat dan cepat. Hanya melalui sebuah gerakan kebudayaan dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau revitalisasi sebuah kehidupan yang hancur, baik dihancurkan oleh manusia dan sistem kekuasaan yang berlaku, maupun dihancurkan oleh peristiwa alam yang sebenarnya juga dipicu oleh keserakahan dan kegilaan manusia.
Sekarang tinggal menumbuhkan bentuk-bentuk kebudayaan yang berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan atau idealisme apa saja dalam hubungan antara sesama manusia maupun antara manusia dengan alam semesta. Sangat tidak mudah, memang, karena ini berarti harus berhadapan dengan para produsen budaya pop yang hanya peduli pada keuntungan pemilik modal. Namun, sejumlah nama yang menjadi tokoh budaya pop, sebenarnya masih memiliki orientasi pada nilai-nilai idealisme. Sebut misalnya penulis serba bisa Remy Sylado. Ia bergulat dengan budaya pop tapi sekaligus memanfaatkan budaya pop sebagai alat untuk menyampaikan “idealisme”-nya. Beberapa nama lain yang juga melakukan upaya serupa secara konsisten misalnya, Iwan Fals, Oppie Andaresta, Rieke Dyah Pitaloka, dan beberapa artis dari dunia pop lainnya. Ini juga adalah sebuah alternatif perjuangan untuk melawan hegemoni budaya pop, yaitu dengan cara memengaruhi budaya tersebut agar menjadi lebih idealis.
Jadi, meskipun tidak mudah untuk melawan hegemoni dan dominasi budaya pop dalam setiap segmen kehidupan, tapi perlawanan tetap akan selalu ada karena begitulah memang substansi kehidupan manusia. Selalu merupakan sebuah peperangan antara siang dan malam. Antara gelap dan terang. Antara putih dan hitam. Dan di tengah-tengah kancah peperangan itulah, martabat manusia setiap saat diuji, dipertaruhkan, dan diperjuangkan. Selalu seperti itu, karena martabat manusia memang bukan martabak yang gurih dan renyah untuk disantap. Martabat manusia adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Martabat manusia adalah misi universal setiap kebudayaan di seluruh jagat raya. Dan untuk langkah awal sebuah gerakan kebudayaan yang berorientasi pada martabat manusia, setiap seniman/budayawan harus berkarya dalam konteks persoalan-persoalan yang melecehkan harkat dan martabat manusia di lingkungan mereka masing-masing. Langkah awal inilah yang akan dilakukan PSI (Perkumpulan Seni Indonesia) dalam setiap aktivitasnya, karena ini adalah sebuah perlawanan bersama.
Dalam sebuah pandangan sederhana, barangkali apa yang dikatakan oleh Dewi “Dee” Lestari, penulis Supernova, ada benarnya. Dee berpendapat bahwa “kemiskinan adalah masalah orang kaya yang tidak mau berbagi.” Sayang, kenyataannya; semakin kaya seseorang, semakin tak mau ia berbagi untuk sesamanya. Sekecil apapun. Keserakahan sepertinya melekat pada setiap pundit kekayaan. Ini yang membutakan mata hati kebanyakan orang kaya.
Selain kemiskinan yang mengandung kekejaman dan kejahatan terhadap manusia, kekejaman dan kejahatan yang sistematis juga terus memerosokan martabat manusia dalam kubangan kenistaan. Sebut saja kriminal-kriminal kelas kampung yang semakin kejam dalam melakukan operasi kejahatan mereka; merampok, menganiaya, memerkosa, sampai memutilasi korban, sampai para penjahat kemanusiaan kelas super kakap atau kelas hiu yang berlindung di balik ketiak kekuasaan yang mereka kangkangi. Semua benar-benar kejam dan tak sedikit pun menghargai harkat dan martabat manusia. Sejak peristiwa G-30-S tahun 65 sampai peristiwa Mei 1998, kekejaman yang meluluhlantakkan martabat manusia sampai pada dimensi penghancuran tubuh manusia sehingga mayat-mayat pun terkapar hangus tanpa bentuk.
Lalu bagaimana memiliki kembali martabat manusia yang sepantasnya? Belum tega rasanya mengajukan pertanyaan ini di saat bencana menghancurkan banyak kehidupan di negara ini. Terbilang sejak SBY naik tahta, cobaan yang luar biasa menghantam kehidupan sebagian rakyat Indonesia. Tentu hal ini tidak bisa serta-merta berhubungan secara langsung satu sama lain. Siapapun presiden yang berkuasa, bencana bisa saja terjadi. Jadi, pertanyaan di atas justru tetap harus diajukan dan dijawab karena menjadi sangat relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Apalagi di saat kita dengan jelas melihat betapa orang masih tega mengkorupsi dana kemanusiaan untuk bantuan bencana. Menurut Andi K Yuwono dari Praxis, hal yang benar-benar nista senista-nistanya itu memang kerap terjadi dalam setiap bencana. Berbagai cerita dari Aceh tentang korupsi dana bantuan kemanusiaan, memang benar-benar mengoyak-oyak nurani.
Dalam pandangan yang optimistik, sebuah gerakan kebudayaan yang tepat bisa menjadi solusi dari terkikisnya martabat manusia dari hari ke hari dalam atmosfir kehidupan masyarakat modern kini. Dalam kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan konsumtif, konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga bergerak menuju arah pergeseran yang sama sehingga dalam apa yang disebut sebagai budaya pop, karakter yang menonjol adalah instan, dangkal, egosentris, dan market oriented. Orientasi pada nilai-nilai kehidupan yang bersifat sosial-kemanusiaan, atau idealisme tertentu dalam hubungan sesama manusia atau hubungan antara manusia dan alam, menjadi sesuatu yang asing dalam kebudayaan popular atau budaya pop. Padahal, orientasi budaya seperti inilah yang sebenarnya mampu menjaga harkat dan martabat manusia.
Budaya pop baru berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan ketika misalnya terjadi bencana atau perang. Bentuk orientasinya pun tidak melekat dalam karya, tapi menjadi kemasan belaka, seperti misalnya konser amal. Budaya pop menjadikan kepedulian sebagai sebuah kemasan belaka, meski mungkin sejatinya mereka peduli. Dalam rentetan bencana yang menimpa sebagian rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir ini, hal ini bisa kita lihat dengan jelas. Kepedulian akhirnya bisa terjebak menjadi sekadar sebuah komoditas yang dilekatkan pada produk budaya tertentu. Dalam bencana gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, para korban gempa bahkan sampai merasa penderitaan mereka dijadikan sebagai objek wisata. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati. Kita melihat orang berbondong-bondong datang mengunjungi desa-desa yang menjadi korban terparah. Sebagian besar yang berniat membantu segera memasang bendera mereka (entah perusahaan, entah LSM, entah Partai Politik, entah lembaga apa lagi) tinggi-tinggi. “Kami peduli”.
Benarkah itu kepedulian? Mungkin benar, tapi mungkin bukan kepedulian yang seharusnya. Kepedulian yang seharusnya terhadap para korban bencana yang menghancurkan kehidupan adalah kepedulian tanpa bendera apapun. Kepedulian yang meniadakan segala kepentingan kelompok, segala macam egosentrisme, dan segala pamrih sekecil apapun. Kepedulian semacam inilah sebenarnya yang harus dibangun dan dihidupkan kembali melalui sebuah gerakan kebudayaan yang membumi dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Alatnya adalah kebudayaan. Karena kebudayaanlah yang mampu menggugah nurani secara tepat dan cepat. Hanya melalui sebuah gerakan kebudayaan dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau revitalisasi sebuah kehidupan yang hancur, baik dihancurkan oleh manusia dan sistem kekuasaan yang berlaku, maupun dihancurkan oleh peristiwa alam yang sebenarnya juga dipicu oleh keserakahan dan kegilaan manusia.
Sekarang tinggal menumbuhkan bentuk-bentuk kebudayaan yang berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan atau idealisme apa saja dalam hubungan antara sesama manusia maupun antara manusia dengan alam semesta. Sangat tidak mudah, memang, karena ini berarti harus berhadapan dengan para produsen budaya pop yang hanya peduli pada keuntungan pemilik modal. Namun, sejumlah nama yang menjadi tokoh budaya pop, sebenarnya masih memiliki orientasi pada nilai-nilai idealisme. Sebut misalnya penulis serba bisa Remy Sylado. Ia bergulat dengan budaya pop tapi sekaligus memanfaatkan budaya pop sebagai alat untuk menyampaikan “idealisme”-nya. Beberapa nama lain yang juga melakukan upaya serupa secara konsisten misalnya, Iwan Fals, Oppie Andaresta, Rieke Dyah Pitaloka, dan beberapa artis dari dunia pop lainnya. Ini juga adalah sebuah alternatif perjuangan untuk melawan hegemoni budaya pop, yaitu dengan cara memengaruhi budaya tersebut agar menjadi lebih idealis.
Jadi, meskipun tidak mudah untuk melawan hegemoni dan dominasi budaya pop dalam setiap segmen kehidupan, tapi perlawanan tetap akan selalu ada karena begitulah memang substansi kehidupan manusia. Selalu merupakan sebuah peperangan antara siang dan malam. Antara gelap dan terang. Antara putih dan hitam. Dan di tengah-tengah kancah peperangan itulah, martabat manusia setiap saat diuji, dipertaruhkan, dan diperjuangkan. Selalu seperti itu, karena martabat manusia memang bukan martabak yang gurih dan renyah untuk disantap. Martabat manusia adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Martabat manusia adalah misi universal setiap kebudayaan di seluruh jagat raya. Dan untuk langkah awal sebuah gerakan kebudayaan yang berorientasi pada martabat manusia, setiap seniman/budayawan harus berkarya dalam konteks persoalan-persoalan yang melecehkan harkat dan martabat manusia di lingkungan mereka masing-masing. Langkah awal inilah yang akan dilakukan PSI (Perkumpulan Seni Indonesia) dalam setiap aktivitasnya, karena ini adalah sebuah perlawanan bersama.
****
<< Home