Thursday, April 05, 2007

Toleransi

catatan rabu pagi 36

Satu hal yang selalu menjauhkan perdamaian dalam hidup kita adalah menipisnya toleransi. Premis inilah yang melatarbelakangi sebuah diskusi dalam rangkaian acara Abu Dhabi International Book Fair 2007. Pada hari ketiga pameran buku internasional di Abu Dhabi itu, forum diskusi menghadirkan dua pembicara untuk membahas topik Tolerance as a Pre-Condition for Peace. Para pembicara adalah Profesor Azmi Bihara, seorang filosof dan pengarang dari Israel dan Profesor George Tamer dari Libanon yang mendalami studi filsafat Islam dan krisis modernisasi dan menjadi visiting professor untuk Arabic Studies di Berlin. Diskusi ini melacak kembali masa-masa di mana toleransi masih kental dalam kehidupan manusia, baik dalam sebuah masyarakat di sebuah negara maupun dalam hubungan masyarakat antar-negara. Masa itu di kawasan Arab antara lain adalah masa Ibnu Khaldoun atau masa Ibnu Rushd beberapa abad yang lalu di Andalous. Fakta yang terjadi pada masa itu sungguh indah dan mengagumkan, karena bahkan masyarakat Arab dan Eropa pun bisa hidup dengan penuh toleransi.

Lantas mengapa semua keindahan hidup yang penuh toleransi itu semakin hari semakin menipis dalam kehidupan manusia modern? Di era global dengan modernisasi di semua bidang kehidupan, toleransi justru menguap entah ke mana. Pepatah lama yang mengatakan “perang biasanya bermula dari ucapan atau kata-kata”, sepertinya tetap relevan sebagai salah satu pemicu menguapnya toleransi dan terjadinya perpecahan di berbagai belahan dunia. Keberagaman yang seharusnya bisa hidup berdampingan dalam damai dan harmoni, malah menjadi sumber konflik berkepanjangan yang tak jarang meminta banyak korban, termasuk korban jiwa. Perbedaan kepercayaan, perbedaan adat dan kebudayaan, perbedaan kelas sosial-ekonomi, perbedaan bahasa, dan segala bentuk perbedaan kecil sekalipun, bisa dengan mudah memicu pertikaian besar karena tiadanya toleransi. Ilustrasi yang paling mencolok, misalnya, konflik berkepanjangan antara Irak dan Amerika.

Perbedaan seharusnya menjadi kekayaan hidup. Tak ada yang salah dengan perbedaan yang ada secara alamiah. Namun apa yang terjadi kemudian adalah cara pandang yang salah terhadap perbedaan. Cara pandang yang salah ini bisa bermula dari banyak sebab, misalnya kurangnya pengetahuan antara satu sama lain yang kemudian memicu miskomunikasi. Contoh kecil yang menarik saya dapatkan dari seorang turis Mesir. Seorang sopir taksi asal Banglades di Abu Dhabi membuat seorang turis asal Mesir marah besar karena sikapnya yang dianggap seenaknya dan kasar. Sopir taksi itu, entah karena apa tidak membawa si turis Mesir ke tempat tujuannya tapi malah mengembalikannya ke hotel tempat di mana ia naik taksi itu. Dan si turis Mesir tetap diharuskan membayar. Ia akhirnya terpaksa membayar dengan ngomel-ngomel luar biasa. Peristiwa kecil itu menjelaskan pada kita akan rentannya perbedaan terhadap konflik yang dipicu oleh ketidakmengertian dan miskomunikasi.

Diskusi yang berlangsung di Abu Dhabi International Book Fair tanggal 1 April 2007 itu, memang tidak menawarkan hal baru dalam membangun toleransi karena toleransi hanya perlu direvitalisasi. Toleransi sudah ada sejak berabad-abad lalu pada banyak kebudayaan di berbagai pelosok dunia. Jika kini kita kehilangan toleransi dalam kehidupan kita masing-masing, penyebabnya pastilah diri kita sendiri yang membiarkan intoleransi terjadi di sekeliling kita. Pastilah diri kita sendiri yang membiarkan tumbuhnya kebencian, arogansi, dan fundamentalisme dalam diri kita. Lingkungan memang memengaruhi dan membentuk diri setiap manusia, tapi jika lingkungan memengaruhi kita dengan hal-hal buruk, hati kita pastilah bisa merasakan dan kemudian menolaknya. Sayangnya, kita mungkin sudah terlalu lama tidak pernah lagi mendengarkan hati kita, dan inilah sumber awal hilangnya toleransi dalam hidup kita. (frg)