Wednesday, March 14, 2007

Grand Design Dunia Penyiaran Indonesia

catatan rabu pagi 33

Paradigma komunikasi untuk membangun kebersamaan dikenal sebagai “humanistic values paradigm”, yang menekankan bahwa pada dasarnya tujuan hidup semua manusia itu sama, walau memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini sebenarnya hanyalah perbedaan “bahasa” saja, dan karenanya sangat bisa diselesaikan dengan komunikasi untuk menyamakan “bahasa”. Bukankah pada dasarnya setiap manusia memang selalu menginginkan kualitas hidup yang baik yang penuh dengan kedamaian, kesamaan di bidang sosial-ekonomi, dan kemerdekaan serta otonomi individu?

Melalui komunikasi, melalui media massa, melalui KPI, kesamaan tujuan hidup ini bisa diperjuangkan bersama-sama sehingga perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu yang mengakibatkan terjadinya konflik dan perpecahan. KPI dan media massa bersama-sama harus membangun pemahaman akan indahnya perbedaan demi kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia

Berikut beberapa catatan saya tentang “grand design dunia penyiaran Indonesia”

1. Yang saya maksud dengan grand design dunia penyiaran Indonesia adalah sebuah konsep komprehensif yang menjadi tujuan bersama dari seluruh stake holder dunia penyiaran, mulai dari pelaku industri penyiaran, penyiaran publik, penyiaran komunitas, KPI, pemerintah, dan masyarakat. Di dalamnya ada desain struktur dunia penyiaran secara utuh, pola hubungan antara seluruh stake holder (berdasar peran, kewenangan, dan tanggung jawab), mekanisme kerja bersama antara seluruh pelaku dan bentuk koordinasinya, orientasi produk ideal (bukan sekadar pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran), pola kepemilikan media, dan kode etik untuk pelaku industri penyiaran non-jurnalis. Regulasi dunia penyiaran yang bisa dijadikan acuan model adalah regulasi penyiaran “demokratis-partisipatif” yang salah satu substansinya memandang radio dan televisi sebagai agen perubahan sosial, pengembangan kebudayaan, dan pembangunan bangsa.

2. Untuk mampu menjadikan dunia penyiaran sebagai agen perubahan sosial, pengembangan kebudayaan, dan pembangunan bangsa, harus ada regulation of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas agar tercipta dunia penyiaran yang sehat dan hubungan yang seimbang dan dinamis antara pengelola penyiaran, pemerintah, KPI, dan audiens.

3. Yang saya maksud sebagai watchdog media penyiaran adalah termasuk menjaga dan mengembalikan fungsi sosial media penyiaran publik sebagai: social surveillance dalam penyebaran informasi yang dilakukan dan socialization dalam upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa dari satu generasi ke generasi lainnya.

4. Mutu sinetron yang memprihatinkan dan perilaku para produser yang menghalalkan penjiplakan sinetron asing secara keterlaluan menjadi persoalan serius dalam industri penyiaran. Keadaan ini harus diatasi sesegera mungkin dengan program-program peningkatan kualitas sinetron yang kongkrit sebagai bagian dari grand design dunia penyiaran Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada tayangan-tayangan lain seperti berita kriminal yang cenderung mengekspos kekerasan secara berlebihan dan ditayangkan pada jam-jam anak-anak menonton tv, dan tayangan bermuatan mistik yang berlebihan dan menanamkan tahayul pada pola pikir anak dan remaja. Kita harus memunculkan kembali sinetron keluarga yang bermutu dan bernuansa budaya lokal seperti “Keluarga Cemara”, atau memperbanyak sinetron komedi situasi yang membumi dan cerdas seperti “Bajaj Bajuri”.

5. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang telah ada hanya mengatur apa yang boleh apa yang tidak dalam penyiaran dan dalam produk tayangan. Menurut saya yang lebih perlu adalah pembuatan pedoman standar mutu sebuah tayangan yang memberikan orientasi, wacana, dan pedoman praktis/petunjuk teknis untuk menghasilkan tayangan yang bermutu. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang ada juga harus terbuka untuk ditinjau ulang dengan melibatkan masukan dari masyarakat luas. Saat ini, menurut Muhamad Mufid dalam buku “Komunikasi dan Regulasi Penyiaran”, setidaknya masih ada sejumlah pasal krusial dalam pedoman tersebut, seperti pasal 24 (larangan menyiarkan langsung penjarahan serta tindakan merusak oleh massa), pasal 44 (larangan menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat, atau memberi kesan hubungan seks), dan pasal 57 ayat 1 (aturan jam tayang program gaib).

6. UU no 32 tahun 2002 yang merupakan produk hukum dari begitu banyak kompromi (politik) memang menimbulkan banyak kendala atau kesulitan dalam pelaksanaannya. Pembagian kewenangan untuk pemberian ijin frekuensi penyiaran antara pemerintah dan KPI jelas memunculkan konflik berkepanjangan antara KPI dan pemerintah.

7. Saya mengatakan KPI juga harus menjadi dinamisator dunia penyiaran berdasarkan logika ruang publik (public sphere) dalam pemikiran Jurgen Habermas, yang berpendapat bahwa faktor struktural yang penting bagi kelahiran pengelolaan penyiaran yang demokratis adalah adanya badan regulator (KPI dalam konteks kita) yang powerfull dalam sistem penyiaran yang ada. Pengelolaan penyiaran demokratis harus dapat menyeimbangkan penguasaan besar-besaran kalangan bisnis dan kepentingan publik untuk mendapat informasi yang sehat, menghibur, dan bermutu dalam wilayah komunikasi publik.

8. Terkait dengan ruang publik dan grand design penyiaran, persoalan mendasar yang muncul kemudian adalah bagaimana membuat struktur sistem media yang kondusif bagi keragaman opini (diversity of opinion), keberagaman konten (diversity of contents), yang juga kondusif bagi terciptanya iklim kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan untuk melakukan jurnalisme penyiaran. Jadi, tegasnya, harus ada kebijakan yang jelas untuk menciptakan kondisi di atas.

Saudara-Saudara (cie … kayak pejabat ya?), dengan demikian selesailah sudah seri Catatan Rabu Pagi bertema “calon anggota KPI yang gagal fit and proper test ini”. Terimakasih atas waktu dan kesediaan Saudara-Saudara untuk membacanya. Semoga bermanfaat. (frg)