Tuesday, March 06, 2007

Relasi KPI, Kuasa, dan Modal

catatan rabu pagi 32

Catatan Rabu Pagi pekan ini, seperti yang saya sampaikan pekan lalu, masih berkutat pada tema “dibuang sayang”; tentang pretilan-pretilan gagasan seputar KPI yang memang menjadi sebuah wacana seru dalam dunia persilatan politik Indonesia dan kait-mengaitnya dengan soal tatanan baru masyarakat Indonesia yang kita harapkan. Inilah secuil lagi unek-unek saya sebagai calon anggota KPI Pusat yang gagal ketika di-fit and proper test oleh para wakil rakyat kita yang terhormat.

Relasi KPI, Kuasa, dan Modal

Relasi segitiga antara KPI, pemerintah (kekuasaan), dan pemilik modal industri penyiaran merupakan struktur dasar yang menentukan dan membentuk kualitas siaran yang dihasilkan industri penyiaran dan dinikmati masyarakat. Peran KPI dalam segitiga ini sangat penting karena KPI harus menjaga dan memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan siaran yang mengandung: informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamankan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia (bab IV, pasal 35 UU No.32 Tahun 2002). Pertanyaannya kemudian: benarkah dibutuhkan KPI yang mampu menjalin hubungan “harmonis” dengan industri penyiaran agar tercipta iklim yang “produktif”?

Saya berpendapat sebaliknya. Kita tidak perlu hubungan yang “harmonis”, kita justru perlu hubungan yang “dinamis” dengan industri penyiaran. Kita juga tidak perlu produktif kalau hanya menghasilkan junk information atau junk electronic cinema (sinetron). Lebih baik meningkatkan kualitas daripada kuantitas tayangan sebuah industri penyiaran. Dalam Bab III, pasal 9 ayat 2, UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain disebutkan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menetapkan standar program siaran. Wewenang inilah yang seharusnya menjadi landasan hubungan KPI dengan industri penyiaran. Harus dibedakan dengan tegas antara substansi sebuah hubungan dengan sifat sebuah hubungan.

Substansi sebuah hubungan terletak pada pembagian peran dan wewenang yang jelas, di mana pihak-pihak yang saling berhubungan menghormati dan menghargai peran dan wewenang masing-masing. Artinya, dalam konteks hubungan dengan industri penyiaran, maka semua lembaga penyiaran baik swasta maupun publik, harus pertama-tama menghormati wewenang KPI. Demikian juga dalam konteks hubungan antara KPI dengan pemerintah, kedua pihak harus saling menghormati peran, wewenang, fungsi, dan tanggungjawab masing-masing. Jika substansi hubungan ini terjamin, maka sifat hubungan yang terjalin akan sekaligus harmonis dan dinamis karena sebenarnya sebuah hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dinamis.

Mengingat besarnya kontribusi yang bisa diberikan oleh KPI dalam meningkatkan kualitas siaran dari lembaga penyiaran apa pun agar menyiarkan materi siaran yang bermutu, mencerdaskan, edukatif, berwawasan kebangsaan, dan sekaligus menarik sebagai sebuah siaran, maka semua anggota KPI harus memiliki totalitas dalam menjalankan peran dan fungsinya sesuai wewenang dan tanggungjawabnya. Era ini adalah era informasi, dan selangkah saja kita lengah, kita bisa terancam menjadi bangsa yang terus “jadul”. Semua anggota KPI juga harus memiliki kearifan untuk melihat setiap persoalan secara holistik dan kritis sehingga tidak mengambil keputusan atau tindakan yang partial dan sepihak. Semua anggota KPI juga harus memiliki visi jauh ke depan, modernis, open minded, menghargai dan menghormati pluralisme, sehingga bisa dipastikan KPI tidak akan menjadi KPI yang “jadul”.

KPI yang tidak “jadul” pasti tidak akan sampai “kecolongan” oleh tayangan semacam Smack Down yang memang sangat mengerikan. KPI yang “gaul” pasti tidak akan melupakan bagian Lembar Penjelasan Undang Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang menegaskan tugas: terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing”. Dan Smack Down adalah contoh ekstrim budaya asing dengan pengaruh sangat buruk pada masyarakat, terutama anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Apa kita mau menjadi bangsa tukang piting, pithes, pelintir, dan pethuk? Saya yakin kita akan sama-sama berteriak keras menjawab: “Tidaakk!”.

Hubungan antara KPI, kuasa, dan para pemilik modal, sekali lagi, sangat menentukan dalam meletakkan fondasi tatanan masyarakat Indonesia masa depan yang cerdas, kritis, demokratis, dan menghargai keberagaman. (frg)