Tuesday, January 31, 2006

Orang-Orang Pilihan (2)

Catatan rabu pagi 18

Samaah Idris adalah seorang penulis buku anak di Lebanon. Berbeda dengan penulis buku anak di Indonesia yang umumnya berlatar belakang guru, ibu rumah tangga, atau pegawai biasa di sebuah instansi, Samaah Idris adalah seorang aktivis radikal penentang imperialisme baru dari negara-negara Barat. Ia melakukan banyak aksi boikot terhadap produk-produk Amerika, termasuk Coca Cola dan McDonald. Saya terperangah. Saya mengenal dan berteman baik dengan banyak aktivis Indonesia yang juga menentang imperialisme baru dan banyak dipengaruhi pemikiran sosialis, tapi rasanya saya tidak pernah mendengar wacana pemboikotan semacam itu. Mungkin karena persoalan politik yang sama sekali berbeda.

Dalam obrolan saya dengan Samaah, saya sempat bertanya “Apa ada artinya gerakan boikot semacam itu?”. Jangan-jangan hanya sekadar gerakan anti-Amerika tanpa makna dan manfaat. Samaah, dengan sedikit tersinggung menjelaskan, bahwa gerakan boikot semacam itu adalah sebuah perlawanan yang sangat substansial terhadap penyebaran nilai-nilai baru melalui berbagai bentuk gaya hidup. Boikot yang dilakukannya adalah sebuah gerakan kebudayaan. Samaah Idris sangat khawatir negara-negara Timur akan kehilangan kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan yang mendasari masyarakatnya. Kita pun kerap mendiskusikan tema ini dalam berbagai bidang kehidupan. Saya paham, tapi tetap tidak paham mengapa aktivis-aktivis teman baik saya tidak seserius Samaah dalam wacana ini.

“Kita harus berani membatasi diri. Kalau kita memang tidak perlu minum Coca Cola mengapa kita harus meminumnya juga?” Itulah kunci gerakan boikot sebagai gerakan kultural yang pernah dilakukan Samaah Idris. Berani membatasi diri. Ini adalah kata kunci untuk menentang dan melawan racun keserakahan yang disebarkan oleh kapitalisme dan konsumerisme. Bisakah kita melakukannya? Saya ingin mengajukan pertanyaan ini pada Anda semua, pada siapa saja yang kebetulan mampir di blog saya di Rabu pagi ini. Bisakah kita menolak Mercedes Benz dan merasa cukup hanya dengan sebuah Minibus?

Saya tidak tahu apakah kita bisa atau tidak. Tapi seorang pemilik warung makan tenda di sebuah gang di Jl. Kaliurang, Jogjakarta, jelas bisa melakukannya. Warung tenda itu menyajikan menu nasi goreng Magelangan seharga tiga ribu rupiah, cah kangkung tiga ribu lima ratus rupiah, fu yung hai seharga cah kangkung, dan menu-menu lainnya dengan harga sekitar Rp 3000,-. Saya terperangah, sama seperti saya terperangah oleh Samaah Idris. Dengan rasa masakan yang sungguh enak (ini terbukti dari antrian panjang pembeli), dan mengingat harga semua bahan pokok yang melambung tinggi, seharusnya dia cukup memiliki alasan (sufficient reason) untuk sedikit menaikkan harga makananya menjadi rata-rata 5000 perak, misalnya. Tapi Bapak pemilik warung tenda itu tidak melakukannya, setidaknya sampai saya makan di warungnya pada tanggal 31 Januari 2006.

Saya tidak ingin mendramatisir apapun. Saya tidak akan memberi “gelar” pada si bapak pemilik warung sebagai “orang pilihan” (lagi pula siapa saya? Memangnya saya Rektor Universitas apa pakai memberi “gelar” segala?). Saya hanya ingin menceritakan tentang Bapak yang saya tidak tahu namanya itu karena saya kagum dan menghormatinya seperti saya kagum dan menghormati teman-teman aktivis saya di negeri tercinta ini maupun di Lebanon seperti Samaah Idris.

frg
ps: Maaf, minggu lalu saya absen.

Tuesday, January 17, 2006

Orang-orang Pilihan

Catatan Rabu Pagi 17

Selalu ada orang-orang pilihan yang "ditugaskan" untuk melawan arus. Tidak selalu untuk hal-hal besar dan muluk. Mungkin hanya untuk sebuah perlawanan seperti kasus SUTET. Romli dan Jajang menjahit mulut mereka dan melakukan aksi mogok makan. Terhitung sampai saat ini (17 Januari 2006), sudah 19 hari kedua orang pilihan itu melakukan aksinya. Luar biasa. Mereka terkapar dan mempertaruhkan nyawa untuk menuntut keadilan yang menjadi hak mereka; sebuah ganti rugi untuk pembangunan saluran udara tekanan ekstra tinggi di tempat mereka. Sampai hari ke-19, protes mereka tak membuat pemerintah tersentuh dan melakukan sesuatu meskipun keadaan Romli dan Jajang sudah kritis.

Di bagian lain dunia, kita bisa menyebut Evo Morales, presiden terpilih Bolivia yang memotong separuh gajinya untuk membuktikan secara nyata bahwa kekuasaan tidak membutakan matanya. Tentu ini masih menuntut pembuktian panjang selama ia menjadi Presiden Bolivia. Hal serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi juga di Kecamatan Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Pemangku adat Kajang Dalam, Puto Pallasa, membongkar rumahnya agar menjadi lebih sederhana dan sama dengan rakyat kebanyakan begitu ia terpilih sebagai ammatoa atau pemangku adat sukunya. Ia melakukannya justru di saat hampir semua pejabat di Indonesia berlomba-lomba memperkaya diri begitu menduduki jabatan apa saja. Luar biasa. Pallasa adalah orang pilihan, sama halnya dengan Morales. Pallasa membuktikan kesungguhannya untuk hidup sederhana dan sama-sama mengalami apa yang dialami sukunya.

Di kalangan DPR kita yang begitu rakus akan kemewahan, muncul juga satu sosok bernama Jacobus Mayang Padang yang mengembalikan rapelan tunjangannya sebesar 50 juta rupiah. Jacobus juga jelas orang pilihan. Sama halnya dengan Jacobus yang dari PDI-P, di DPR juga ada Drajad Wibowo dari PAN, Nasir Djamil dan Andi Shalahuddin dari Partai Keadilan yang mengembalikan uang tunjangan sebesar 50 juta yang mereka terima ke masyarakat.


Mereka semua adalah orang-orang pilihan yang sangat sedikit di masyarakat kita. Romli, Jajang, Pallaso, Jacobus, Drajad, Nasir, dan Andi. Jumlahnya memang hanya beberapa gelintir orang dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang 250-an juta orang. Tapi merasakan keberadaan mereka, melihat mereka ada, mendengar cerita mereka, saya merasa mendapat semacam kekuatan untuk terus berharap: akan masa depan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.

Ini adalah awal tahun. Saya rasa memulai awal tahun dengan inspirasi orang-orang pilihan seperti mereka, mungkin akan bisa menggerakkan kita semua untuk berani bersikap, untuk berani mengambil keputusan, dan untuk berani melawan arus yang tidak benar. Mari memerdekakan diri dari segala bentuk keserakahan, kerakusan, dan kesewenang-wenangan!

frg

Tuesday, January 10, 2006

Realita, Cinta, & Rock n Roll

Catatan Rabu Pagi 16

Selamat Tahun Baru 2006. Semoga keadaan akan lebih baik tahun ini meskipun bencana banjir bandang dan tanah longsor menjadi catatan pembuka tahun. Itulah realitas. Kerap kejam dan menyakitkan, tapi juga kerap dipenuhi kebahagiaan. Catatan rabu pagi di awal tahun 2006 ini adalah tentang film layar lebar ketiga karya Upi Avianto yang juga berkisah tentang realitas. Judulnya keren, “Realita, Cinta, & Rock 'n Roll. Debut Upi adalah film “30 Hari Mencari Cinta” yang sukses mengangkat nama Nirina Zubir, si cantik yang mungil dan cerdas, di dunia perfilman nasional. Film keduanya masih bertema cerita cinta remaja yang ringan, "Lovely Luna". Tapi di film ketiganya, "Realita, Cinta & Rock n Roll", Upi berkisah tentang masalah yang lebih serius dan substansial.

Memang tetap berada di realitas dunia remaja yang tengah mencari sebentuk kehidupan bagi dirinya, tapi dalam film ini drama kehidupan anak muda metropolitan tampil lebih utuh dan penuh gejolak. Urusan cinta hanya menjadi bagian yang mengikat cerita. Semacam benang merah bagi realitas yang diangkat Upi melalui tiga tokoh utama film tersebut yang menjadi korban dari suatu keadaan yang diakibatkan orang tua mereka. Tiga tokoh itu, Ipang, Nugie, dan Sandra, adalah anak-anak muda yang mencoba melakukan pemberontakan terhadap tatanan kehidupan yang mengungkung mereka. Ipang ternyata anak adopsi yang tidak jelas siapa orang tua kandungnya. Nugie, dibesarkan Ibunya yang janda, ternyata memiliki seorang ayah yang sudah menjadi transeksual. Waria. Dan Sandra ditinggal bunuh diri oleh ayahnya yang dililit hutang saat ia masih remaja. Ia kemudian harus mengurusi ibunya yang pemabuk dan sakit-sakitan sejak saat itu.

Semua itu adalah realitas yang diangkat sebagai tema cerita film "Realita, Cinta, & Rock 'n Roll". Semua itu adalah realitas yang nyata dalam kehidupan modern di masyarakat metropolitan semacam Jakarta. Upi merangkum semua realitas getir dan menyakitkan itu dalam sebuah film yang menarik. Kemasan rock n roll sebagai bingkai cerita membuat film ini asyik ditonton dan tetap menghibur meskipun mengangkat tema yang sama sekali bukan sekadar hiburan. Angkat topi untuk Upi. Saya rasa dibandingkan dua filmnya yang terdahulu, film ini benar-benar berbeda dan merupakan sebuah pencapaian baru seorang Upi Avianto. Obsesi Ipang dan Nugie untuk menjadi rock star menghasilkan optimisme dan dinamisme yang kuat meskipun keseluruhan cerita adalah tentang realitas yang menyakitkan dan kejam. Inilah spirit rock 'n roll yang memang harus dikobarkan bagi anak-anak muda generasi sekarang semacam Ipang, Nugie, dan Sandra.


Well, mungkin Anda semua, teman-teman yang suka membaca blog saya bertanya-tanya: lalu apa juntrungannya fx rudy gunawan ujug-ujug menulis tentang film Upi Avianto yang baru akan diedarkan pertengahan bulan Februari nanti? Mengapa ia seolah-olah menjadi humas atau PR-nya Upi? Mengapa? Pertama karena film ini bagi saya bagus dan layak ditonton sekaligus oleh anak-anak muda dan orang tuanya. Gap yang kerap membentang antara anak muda dan orang tuanya, mungkin bisa dijembatani dengan nonton bareng film ini. Kedua, dan ini adalah alasan yang terpenting: karena saya menulis novel adaptasi untuk film "Realita, Cinta, & Rock 'n Roll" karya Upi tersebut. Sungguh, sebelum menonton filmnya, Anda –-anak-anak muda dan para orang tua-- wajib membaca novelnya yang baru saja beredar di awal tahun 2006 ini. Dijamin tidak kecewa. Sekali lagi, selamat tahun baru! [frg]