Sunday, November 26, 2006

Opera Kontemporer Rasa Teater Garasi

F.X Rudy Gunawan
(Tulisan dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Minggu, 26 November 2006)

Bagaimanakah reaksi Yudi Ahmad Tajudin, pendiri Teater Garasi, ketika komponis Tony Prabowo meminangnya untuk bekerja sama dalam pertunjukan opera kontemporer The King’s Witch? Opera kontemporer yang akan dipentaskan tanggal 1 dan 2 Desember 2006 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu jelas merupakan suatu hal baru bagi Yudi. Meskipun telah lama berkiprah dalam grup teater yang berkarakter eksperimental, Yudi tetap merasa “berkeringat dingin” selama beberapa waktu. Pertama ia meminta waktu untuk mempelajari, merasakan, dan menghayati musik Tony Prabowo. Maklumlah, Yudi dan semua anggota Teater Garasi, menurut pengakuan mereka, baru sampai tahap menjadi pendengar musik pop, sementara musik Tony Prabowo berada pada dimensi dan wilayah yang sangat berjauhan dengan dimensi dan wilayah musik pop. Perlu ketajaman telinga yang berbeda untuk masuk dan menikmati musik Tony.

Yudi dan Teater Garasi akhirnya menerima “pinangan” Tony Prabowo setelah mempelajari berbagai referensi yang terkait dan memengaruhi musik Tony. Kata kuncinya adalah kolaborasi yang bebas dan independen. Kebetulan karakter Garasi memang bebas dan tidak pernah berafiliasi pada style tertentu dalam berteater. Mereka menjajaki semua kemungkinan bentuk untuk mengekspresikan ide-ide apa saja yang muncul di kepala sebagai hasil interaksi dengan realitas. Itulah yang membuat Garasi bisa menghasilkan “Waktu Batu” yang terkesan absurd dan modern, dan sekaligus bisa juga menggelar teater rakyat yang tradisional bersama masyarakat Aceh dengan isu yang kontekstual dan riil. Tidak hanya lokal, Garasi juga beberapa kali diundang ke berbagai negara, baik untuk pentas, festival (antara lain D’Avignon Festival, Perancis) maupun workshop. Salah satunya ke Jepang untuk berkolaborasi dengan seniman teater Jepang, dan Yudi didaulat untuk menyutradarai lakon Antigone-nya Sophocles dalam pertunjukan kolaborasi itu. Pengalaman di tingkat multinasional ini juga menjadi modal Teater Garasi untuk berkolaborasi dengan Tony Prabowo dalam opera kontemporer The King’s Witch, yang naskahnya ditulis oleh Goenawan Mohamad dan musiknya dimainkan oleh Continuum Ensemble (New York) dengan Joel Sachs sebagai konduktor, dan Batavia Madrigal Singers dengan Avip Priatna sebagai chorus master.

Tentang Continuum Ensemble, New York Times menulis: "Simply put, there is no musical organization in New York that produces more intellectually enticing or more viscerally satisfying programs than Continuum... Year after year, its explorations in 20th-century repertory prove to be not only unusual and unexpected but also important and enduring... This ensemble has a long history of acting in behalf of composers whom others discover years or decades later." Sebuah apresiasi luar biasa dari media bergengsi. Tapi Joel Sachs sendiri bukanlah sosok asing bagi Tony Prabowo karena mereka pernah berkolaborasi pada November 2000 untuk mementaskan The King’s Witch di Alice Tully Hall, Lincoln Center, New York. Dalam kesempatan itu, The King’s Witch dipentaskan tanpa aktor-aktor pendukung. Inilah yang membedakannya dengan pertunjukan di Graha Bakti Budaya, tanggal 1 dan 2 Desember 2006 nanti. Dan inilah untuk pertama kalinya sebuah opera kontemporer digelar di Indonesia. Garasi mendapat kesempatan untuk menjadi yang pertama mengambil peran dalam opera kontemporer karya Tony Prabowo dan Goenawan Mohamad ini. Dengan didukung oleh musisi-musisi tingkat dunia, nampaknya pertunjukan ini akan menjanjikan sesuatu yang spektakuler dan fenomenal.

Yudi dan Teater Garasi menyiapkan diri untuk pertunjukan ini dengan proses latihan yang ketat dan profesional. Mereka memilih latihan setiap hari selama berbulan-bulan di aula terbuka bekas gedung ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang terletak di daerah Gampingan, Yogyakarta. Setelah melewati proses interpretasi dan diskusi yang alot antara Yudi dan aktor-aktornya, ditemukanlah sebuah pola gerak yang senyawa dengan musik Tony Prabowo. Tahap inilah yang paling rumit bagi mereka. Tahap selanjutnya, menginterpretasi teks libretto Goenawan Mohamad yang diangkat dari cerita Calon Arang relatif lebih mudah bagi mereka karena teks memang sudah menyatu dengan diri mereka dalam setiap proses kreatif. Berbeda dengan musik Tony yang membuat mereka harus belajar tentang sejarah musik kontemporer. Terutama satu periode penting setelah periode Post-Romantik. Periode itu disebut impresionisme dengan tokoh seperti Claude Debussy dan Maurice Ravel yang lebih bebas mengekspresikan diri. Lalu juga tentang kelompok 3 Wina (Arnold Shoenberg, dengan dua muridnya, Anton von Webern dan Alban Berg) yang memelopori musik modern khususnya pada penggunaan 12 nada. Kelompok 3 Wina inilah yang kemudian memicu lahirnya musik a-tonal yang intinya tidak ada lagi “nada pusat yang paling penting” dalam musik. Tony menganut idiom musik a-tonal dalam karya-karyanya. Semua nada sama nilai dan arti pentingnya, tidak ada lagi orientasi pada satu pusat nada.

Itulah sekelumit proses kreatif Yudi dan Teater Garasi dalam kolaborasinya dengan Tony Prabowo, Goenawan Mohamad, Continuum Ensemble, Joel Sachs, Stephanie Griffin, Batavia Madrigal Singers, dan juga Nyak Ina Raseuki (Ubiet) dan Binu D. Sukaman. Akan seperti apakah hasilnya? Paling tidak para penonton pasti akan bisa merasakan citarasa Garasi dalam pertunjukan opera kontemporer ini. Ini bisa dipastikan karena, baik Tony Prabowo maupun Goenawan Mohamad memberi Yudi dan Teater Garasi kebebasan penuh untuk menginterpretasi musik dan teks mereka sampai ke tingkat bentuk-bentuk ekspresi yang dihasilkan dari proses interpretasi itu. Kebebasan yang sama juga menjadi prinsip dalam kolaborasi antara Tony dan Goenawan Mohamad. Tony Prabowo tidak ikut campur dalam proses kreatif Goenawan Mohamad menulis dan menginterpretasikan ulang cerita Calon Arang. Goenawan Mohamad pun menyerahkan sepenuhnya teks libretto yang ditulisnya pada Tony untuk di-bahasa-musik-kan.

Semua memiliki otonomi dan kewenangan penuh di bidang kreatif masing-masing karena seni memang menuntut kebebasan untuk berekspresi dan bereksperimen. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Setiap orang memiliki harkat dan martabat setara. Tanpa memandang warna kulit, agama, status sosial-ekonomi, ras, ideologi, dan perbedaan-perbedaan lain. Ini memang sebuah kolaborasi multinasional, karena itu hal yang sama juga diterapkan dalam relasi dengan para pemusik dari New York yang latihan sendiri di negaranya. Sungguh sebuah proses kreatif yang demokratis dan patut dijadikan acuan pelaksanaan demokrasi di negara ini. Jadi, melalui tulisan pendek ini, akhirnya saya juga ingin menghimbau pada para politisi, pejabat tinggi, penguasa ekonomi, para aktivis, dan tentunya, seniman-budayawan, agar ramai-ramai menontonnya. Terutama para pejabat, politikus, dan pengusaha. []

Labels: