Tuesday, September 27, 2005

Pram (2)

Catatan Rabu Pagi 5

Dalam novel pertama saya, Mata yang Malas (2002), saya meramalkan Jakarta disergap wabah penyakit mata yang sangat berbahaya pada tahun 2005. Semua orang terdistorsi dan mengalami situasi “apa yang terlihat bukanlah apa yang sebenarnya” dalam pengertian yang sangat harafiah. Kekacauan kemudian melanda hampir semua tatanan kehidupan rakyat Jakarta.
Saya bukan peramal, tapi apa yang terjadi saat ini, di triwulan terakhir tahun 2005 ini, saya kira kurang-lebih adalah kekacauan yang melanda hampir semua tatatan kehidupan. Sejak tsunami menghancurkan Aceh dan wilayah-wilayah sekitarnya pada kuartal pertama 2005, bencana-bencana terus berhamburan. Kehidupan dihancurkan secara mengejutkan dan seketika. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada kehidupan Pramudya Ananta Toer. Kehidupannya dihancurkan secara mengejutkan dan seketika. Pram menceritakan pada saya, Jati, dan Jemek, bagaimana ia pertama kali diculik oleh tentara atas perintah Sudarmono dari rumahnya.
Ingatannya tentang peristiwa itu masih cukup jernih. Pram di usia tuanya, seakan tidak mengalami distorsi penglihatan ataupun ingatan. Ia memang mengeluhkan tubuhnya yang semakin rontok oleh usia. Buku jarinya sakit kalau digerakkan sehingga ia tidak lagi menulis. Dengkulnya gemetaran tak mampu menahan dan menggerakkan kakinya untuk melangkah tanpa bantuan sebuah tongkat. Matanya tak bisa lagi melihat dengan jelas sehingga “apa yang terlihat, pasti bukan seperti apa yang sebenarnya”. Ia menanyakan pada saya, “apakah ada buku tentang menjadi tua?”

menjadi tuaSaya pernah mendapat pertanyaan yang kurang lebih serupa dari Seno Gumira Ajidarma, sekitar 6-7 tahun yang lalu. Saya tidak ingat kapan persisnya. Saya hanya ingat Seno bertanya pada saya tentang konsep “tua”, saat saya numpang mobilnya untuk pergi ke suatu tempat yang kebetulan searah dengan tujuannya. Saya juga tidak ingat apa jawaban saya untuk pertanyaan filosofis itu. Mungkin saya hanya menjawab asal saja saat itu, karena jika benar peristiwa itu terjadi sekitar 6-7 tahun lalu, berarti umur saya saat itu sekitar 32 atau 33 tahun.
Dan pekan ini, rabu pagi ini (28-9-05), saya merasa dunia telah menjadi tua dan lelah sebagaimana Pram yang semakin uzur dan lelah. Saya pikir, saya sendiri pun kadang mulai merasa lelah. Mungkin karena saya juga mulai “agak” tua. (to be continued)

frg

Tuesday, September 20, 2005

Pram (1)


Catatan Rabu Pagi (4)

Satu kejadian penting dan berharga pada pekan lalu selain peringatan setahun kematian Munir adalah berkunjung ke rumah Pramudya Ananta Toer. Setelah sekian tahun tidak bertemu dan mengunjunginya. Seperti yang dulu-dulu, kalau tidak salah dua atau tiga kali saya berkunjung ke rumah Pram ketika masih tinggal di kawasan Utan Kayu, kali ini pun saya mengunjunginya karena diajak dua orang kawan baik. Rahardja Waluya Jati yang pernah diculik Tim Mawar-nya Kopassus, tapi dibebaskan (antara lain berkat perjuangan almarhum Munir) dan Bowo yang akrab dipanggil Jemek.

Saya mengagumi Pram sejak untuk pertama kalinya membaca Keluarga Gerilya saat masih duduk di bangku SMP. Buku itu saya temukan di tumpukan buku-buku yang sudah digudangkan ayah saya. Saya membacanya dan serta-merta tersihir oleh buku yang sudah tidak bersampul itu. Ejaaannya masih ejaan lama. Saya merasa sangat beruntung menemukan buku itu. Saat itu tentu saja saya tidak tahu buku itu dilarang dan diharamkan oleh rezim Orde Baru. Saya lalu memasukkan nama Pramudya Ananta Toer sebagai pengarang favorit saya, tanpa tahu dia siapa, seperti apa cerita hidupnya, atau latar belakang politiknya.

Terus terang saya tidak peduli. Saya menyukai karya-karya tanpa syarat karena sangat bagus dan menyentuh bagian terdalam di jiwa saya. Saya pun sangat senang ketika menemukan lagi dan membaca karya-karya Pram lainnya, termasuk tetralogi Bumi Manusia. Saat itu saya kelas tiga SMP. Ya, kelas tiga SMP! Tentu saja saya tidak pernah membayangkan bakal bisa bertemu dengan sastrawan besar Indonesia satu-satunya yang dua kali dinominasikan oleh Panitia Nobel itu.

Tapi hidup selalu menyimpan kejutan dan ketakterdugaan persis di batas antara harapan dan kenyataan.

Saya memperhatikan baik-baik Pram yang sudah memasuki usia 79 tahun. Ia sudah pindah rumah ke kawasan Bojong Gede yang jauh dari keramaian dan menyibukkan diri dengan kegiatan membakar sampah di pagi hari. Rumahnya sangat luas. Mungkin seribu atau duaribu meter. Gus Dur semasa menjabat sebagai Presiden pernah juga mengunjunginya di Bojong Gede. Pram menyalami kami, dan tentu saja ia tak ingat siapa saya. Terlalu banyak orang yang menjadi pengagum beratnya. Saya hanyalah salah satunya yang tetap kagum melihat Pram di usia tua yang tetap kritis, jernih, konsisten, dan luar biasa cerdas. Daya pikirnya tetap hebat, meski memorinya mulai berkurang di sana-sini.
Meski saya katakan memorinya mulai berkurang di sana-sini, tapi dibandingkan dengan saya yang baru berusia 40 tahun pun, memorinya masih jauh lebih baik. Saya bahkan tidak bisa mengingat secara detil masa balita saya di usia yang baru 40 ini! Gila! Sungguh luar biasa.

Dan pagi itu memang pagi yang luar biasa bagi saya, matahari memenuhi ruang tamu rumah Pram yang terbuka dengan kehangatan yang mencairkan kebekuan jiwa siapapun. (to be continued) --



frg, at fourty.

Tuesday, September 13, 2005

Peduli

Catatan Rabu Pagi (3)

Rabu pagi, seminggu lalu, 7-9-05, tepat satu tahun peristiwa tragis pembunuhan kawan saya Munir, saya terbangun dengan kepala berdenyut keras. Kerap saya mengalami terbangun dengan kepala berdenyut di pagi hari. Bukan karena berbotol-botol bir yang saya minum malam harinya, tapi mungkin karena saya terbangun dengan kesadaran banyaknya orang-orang tidak bertanggungjawab di sekeliling kita. Berseliweran di semua panggung dan gelanggang kehidupan. Melenggang. Tersenyum tanpa dosa. Tertawa-tawa. Mereka bisa politisi, bisa birokrat, bisa pejabat tinggi, bisa seniman, bisa aktivis, bisa wartawan, bisa artis, dan bisa juga para pembunuh yang membunuh Munir.

Mungkin juga saya terbangun dengan kepala berdenyar keras karena masih terenyuh oleh tayangan tubuh-tubuh hangus tanpa kepala, tanpa kaki, atau tanpa tangan, yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi saat pesawat Mandala jatuh menimpa pemukiman di kawasan Jamin Ginting, tak jauh dari Bandara Polonia, Medan. Sebuah bencana lagi. Mual rasanya perut saya melihat usungan-usungan jasad hangus yang mengerikan itu. Teman saya, wartawan radio 68H, Ging Ginanjar, yang memberi tahu saya untuk pertama kalinya tragedy itu sebelum televisi menayangkannya. Kami kebetulan tengah sama-sama mengurus visa saat itu. Ging kemudian mempertanyakan soal etika jurnalistik televisi soal penayangan vulgar semacam itu.

Etika?
Hmm, ini juga perkara yang kerap membuat saya terbangun dengan kepala berdenyar keras. Perkara yang dalam kehidupan kita, masyarakat dan bangsa dan negara Indonesia, menjadi sebuah kata kunci yang terkubur entah dimana. Terkubur mungkin di kuburan massal korban-korban pembunuhan politik. Terkubur mungkin di reruntuhan bangunan-bangunan hancur karena kerusuhan massal. Terkubur mungkin di file-file yang dibakar dan dihancurkan oleh kekuasaan yang berdarah-darah. Saya tak tahu persis. Saya hanya tahu, kalau kita memegang teguh etika kehidupan yang menghargai sesama manusia, banyak kerusuhan akan bisa dihindarkan. Banyak pertikaian akan bisa didamaikan. Itulah yang saya tahu.

Saya sudah terbiasa bangun dengan kepala berdenyar, jadi saya tetap bangun dan melakukan semua ritual pagi. Bengong beberapa saat (karena saya tidak merokok lagi), minum air putih, minum kopi, dan mulai membaca koran. Tepatnya membaca semua judul berita, dan menimbang-nimbang mana berita yang layak baca. Sudah lama saya juga merasakan banyak berita menjadi sekadar obrolan iseng yang tak punya makna apa-apa.

Mengapa?
Karena kita semua mungkin sudah lama tidak lagi peduli pada peristiwa apapun! Karena kita sudah kehilangan kepercayaan pada banyak hal dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita. Tapi bangun dengan kepala berdenyar, bagi saya sendiri adalah sebentuk kepedulian, karena jika kita telah benar-benar tak peduli lagi pada apapun kita akan bangun setiap pagi tanpa perasaan apa-apa. Hampa dan kosong. Jadi, jika Anda masih sering terbangun dengan kepala berdenyar seperti saya, bersyukurlah. Itu tandanya kita masih punya kepedulian.


Salam
frg

Ps. Maaf saya absent rabu pagi kemarin.