Tuesday, May 13, 2008

"Gie"

juga dimuat di rubrik Sikap, vhrmedia.com

catatan rabu pagi

Di sebuah kantor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seorang office boy (OB) tengah asyik memasak menu makan siang. Panggil saja dia Gie. Dia bukan Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 yang melegenda itu tentunya, tapi namanya memang mengandung kata “gie”, yakni Tugimin. Wajah Gie berkeringat dipanggang hawa panas kompor yang memenuhi dapur berukuran 2x1meter persegi. Otot-otot lengannya tampak kekar saat Gie serius mengulek sambal sebagai pelengkap menu utama, sayur asem, dan ikan asin. Tidak setiap hari Gie memasak makan siang untuk para aktivis di tempat kerjanya; dan justu karena itulah masakan Gie selalu dinanti-nanti. Semua aktivis suka masakan Gie. Meskipun berkeringat, wajah Gie terlihat ceria dan bersemangat. Tak ada beban di wajahnya, yang terlihat adalah ketulusan untuk melayani. Beberapa kali ia mengusap keringat dengan menggunakan lengan baju kaosnya, mencegah butir keringatnya terjatuh ke atas cobek. Siang itu, ia mengenakan kaos bertuliskan “Ayo Perangi dan Lawan Korupsi!”

Siapa saja yang melihat Gie asyik memasak biasanya langsung berkomentar, memberikan satu-dua pujian, sambil menahan liur mereka menetes. Siapa saja yang melihat Gie memasak, pasti akan mendapatkan wajah sederhana yang sungguh tulus, asyik meracik, menguleg, atau mengaduk sesuatu. Mungkin ini sesuatu yang sepele bagi sebagian besar orang, tapi bila kita mau menyempatkan diri untuk sengaja mencari sebuah ketulusan pada wajah-wajah yang berseliweran di pasar, mal, alun-alun, restoran-restoran, kantor-kantor pemerintah, kantor-kantor swasta, kampus-kampus, atau di mana saja, saya berani bertaruh, kita tidak akan mudah menemukannya. Mungkin di antara seribu wajah yang kita pelototi, hanya ada satu wajah setengah tulus yang kita temukan. Kalau beruntung, mungkin kita akan menemukan dua-tiga wajah tulus di antara seribu wajah itu. Sungguh, ketulusan untuk melayani sesama sudah lama menjadi barang langka di dunia yang kita hidupi kini. Setidaknya menurut pengamatan saya, orang-orang kini lebih banyak berpamrih dalam segala hal.

Orang yang tulus melayani biasanya masih bisa kita temukan di desa-desa kecil yang kebetulan kita kunjungi dalam sebuah perjalanan. Kita mungkin masih mendapatkan orang-orang yang menawarkan bantuan dengan spontan ketika ban mobil kita kempes dan tak ada tukang tambal ban di sekitar kita. Kita mungkin masih mendapatkan keramahtamahan yang jujur dan bukan basa-basi ketika kita bertanya arah pada seorang penduduk desa kecil di pelosok Indonesia. Di kota-kota besar memang tetap ada peluang kita mendapatkan ketulusan, tapi probabilitasnya tetap lebih kecil dibandingkan dengan di desa-desa. Gie adalah contoh kongkrit profil orang desa karena ia memang berasal dari desa kecil di pelosok Jawa Tengah. Desanya, menurut Gie, adalah sebuah desa miskin dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah karena tidak ada kemampuan untuk membiayai sekolah. Padahal, menurut cerita Gie pada saya dalam suatu kesempatan kami ngobrol berdua, orang-orang desanya, lelaki maupun perempuan, adalah orang-orang yang sangat rajin bekerja, tidak pernah malas untuk melakukan pekerjaan apa pun asal tidak melanggar hukum.

Saya tak bisa menjawab pertanyaan polos Gie tentang kemiskinan desanya. “Mengapa kami hidup miskin, Mas? Kan kami semua bukan orang-orang yang malas, kami selalu rajin bekerja tiap hari. Mengapa kami tetap miskin?” Saya sungguh ingin menjawabnya dengan sesederhana mungkin, tapi apakah ada penjelasan sederhana tentang kemiskinan? Masalahnya pasti selalu kompleks dan pelik. Saya membuang muka sejenak dari tatapan Gie yang sungguh polos dan mengharap sebuah penjelasan. Saya harus memilih satu jawaban yang paling bisa menjelaskan mengapa orang-orang desa Gie yang rajin bekerja dan tulus melayani sesamanya harus hidup dalam kemiskinan? Jawaban sederhana apa yang harus saya sampaikan? Jangan-jangan sebenarnya saya memang tidak bisa menjawab pertanyaannya. Sejujurnya saya memang malah ingin belajar bagaimana bisa memiliki ketulusan seperti dirinya. Tapi saya harus menjawab pertanyaannya, saya tidak ingin mengecewakan Gie dan juga mengecewakan diri sendiri.

“Pripun, Mas? Bagaimana? Apa jawaban pertanyaan saya?”

Saya menghela nafas panjang. Saya sudah menemukan sebuah jawaban, tapi jawaban itu sungguh pahit dan menyakitkan untuk disampaikan.

“Baiklah, Gie. Saya akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur, tapi jawaban ini hanya salah satu dari sekian banyak penyebab lainnya. Jawaban ini juga mungkin menyakiti hatimu. Kamu paham?”

“Paham, Mas.”

“Kamu siap untuk mendengar jawaban saya?”

“Inggih, siap, Mas.”

“Gie, menurut saya, salah satu penyebab miskinnya desamu adalah karena kalian memiliki ketulusan yang luar biasa dalam melayani pada sesama manusia….”

“Hah, kok bisa, Mas? Kulo mboten ngertos, ndak ngerti saya….”

“Itulah Gie, pahit kan? Tapi justru karena itulah, orang-orang pinter, para pemimpin, para politisi, para aktivis, para pejabat, para mahasiswa, seharusnya belajar dari kamu dan orang-orang desamu tentang ketulusan. Barulah orang-orang desamu tidak akan miskin lagi!”

Gie manthuk-manthuk, menggangguk-anggukkan kepalanya. Saya menatapnya dengan perasaan kacau-balau. Sungguh saya ingin belajar ketulusan padanya. Sungguh saya ingin semua orang meneladaninya.

Tebet Barat, Maret 2008.