Tuesday, November 29, 2005

(Masih soal) Reading Habit

catatan rabu pagi #11

Akhir pekan lalu saya dan rombongan pentas monolog “Matinya Seorang Pejuang; A Tribute To Munir” yang sudah berkeliling ke tujuh kota sejak Januari 2005, datang ke Bengkulu untuk pementasan ke-9 setelah pentas di Yogyakarta (2 kali), Malang, Surabaya, Denpasar, Mataram, Jakarta, dan Medan. Berbeda dengan pentas-pentas sebelumnya yang dimainkan oleh Whani Darmawan, pementasan di Bengkulu dimainkan oleh aktor muda Wendy HS. Kebetulan keduanya sama-sama berinisial “W” dan sama-sama belajar teater di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Keduanya juga sama-sama aktor yang berbakat dan peduli pada kasus pembunuhan Munir yang semakin hari semakin tak jelas nasibnya.

Berbeda juga dengan pentas-pentas sebelumnya yang biasa diadakan di gedung teater atau di kampus, pentas di Bengkulu pada hari kedua digelar di sebuah balai desa perkampungan nelayan bernama Teluk Sepang. Teluk Sepang termasuk kategori desa yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduknya sekitar 1000 Kepala Keluarga yang berprofesi sebagai nelayan. Rumah papan mereka sangat kecil, sederhana dan masih berlantai tanah, sangat kontras dengan fasilitas MCK (mandi-cuci-kakus) di samping balai desa yang meski tak terawat tapi seluruhnya merupakan bangunan permanen dari tembok. Kondisi balai desa juga memprihatinkan. Sebuah bangunan terbuka setengah jadi seluas sekitar 200 meter persegi tanpa pintu. Grafitti tak jelas memenuhi dinding-dinding bangunan setengah jadi itu. Lantainya yang dari keramik sederhana, seakan tak pernah dijamah sapu. Kotor.

Mendapati kondisi semacam itu, saya sebagai penulis naskah, Landung Simatupang sebagai sutradara, dan Raharja Waluya Jati sebagai pejabat divisi kampanye KASUM (Komite Solidaritas untuk Munir), langsung meminta Wendy HS untuk merombak permainannya agar sesuai dengan kondisi kampung nelayan Tanjung Sepang. Kami khawatir, naskah yang saya tulis tidak bisa diapresiasi oleh penduduk Teluk Sepang yang tingkat pendidikannya masih relatif rendah. Meski dalam pentas pada hari sebelumnya di Taman Budaya Bengkulu, jumlah dan respon penonton sangat baik, tapi kondisi di Teluk Sepang sangat berbeda. Kami ingin memberikan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi penduduk di Teluk Sepang.

Pada titik inilah, budaya baca atawa reading habit kembali menjadi sesuatu yang sangat penting untuk ditingkatkan. Naskah saya sebenarnya naskah yang sederhana dari segi pemakaian bahasa maupun dari segi tema, siswa SMA pasti bisa memahami dan menikmatinya, tapi penduduk Teluk Sepang jauh lebih sederhana lagi dibanding naskah saya. Mereka bahkan banyak yang tidak mengetahui tentang kasus pembunuhan Munir. Mereka banyak yang tidak tahu siapa Munir meski sepanjang hidupnya Munir berjuang untuk rakyat kecil yang tertindas. Ini artinya akses mereka pada berita dan informasi masih sangat minim. Di Bengkulu, kota dimana founding father kita, Ir. Soekarno, pernah dibuang pada tahun 1938, kehidupan seakan bergerak sangat lamban.

Budaya baca masih sangat rendah di desa-desa minus seperti Teluk Sepang. Bahkan di seluruh kota Bengkulu hanya ada satu toko buku tradisional yang koleksi bukunya sangat terbatas. Toko itu baru menjual sebagian kecil buku-buku baru beberapa bulan setelah buku itu dijual di daerah lain. Satu buku baru yang terbit dan beredar di Jawa, baru akan sampai di Bengkulu 6-7 bulan kemudian. Akibatnya, budaya baca pasti akan sangat rendah di daerah-daerah terpencil yang masih terbelakang. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab pemerintah yang seharusnya menyediakan sarana dan fasilitas pendidikan gratis bagi rakya kecil, tak peduli di manapun mereka berada. Tak peduli seterpencil apapun daerah mereka. Justru semakin terpencil harus semakin diprioritaskan karena hanya dengan budaya baca yang tinggilah sebuah masyarakat akan bergerak maju meninggalkan keterbelakangan. (frg)

Ps. Pentas ke-9 di Bengkulu, seperti pentas-pentas sebelumnya, terselenggara berkat bantuan tim produksi: Hendro, Mia, Kun, Jon, dan Sinyo.

Tuesday, November 22, 2005

Reading Habit

catatan rabu pagi #10
Atas rekomendasi Dewi “Supernova” Lestari alias Dee, Selasa kemarin saya diundang menjadi tamu untuk acara televisi Mobilista BCA yang kebetulan mengangkat tema tentang reading habit di masyarakat kita. Tentu saja saya mau menjadi tamu untuk acara itu. Selain karena teman baik saya, Dee yang memberi rekomendasi, juga karena tema itu memang penting. Salah satu akar segala macam persoalan yang kita hadapi saat ini, saya yakin antara lain disebabkan rendahnya budaya baca masyarakat kita. Rendahnya budaya baca membuat wawasan jadi cetek, wawasan yang cetek membutakan pikiran kita, pikiran yang buta tak bisa bereaksi cepat terhadap perkembangan keadaan. Pikiran yang buta tak kan pernah bisa mengkritisi keadaan.
Akhirnya, yang terjadi adalah kebodohan yang merajalela. Akibatnya, jadilah kita bangsa yang tak pernah bisa menyelesaikan segala persoalan yang kita hadapi. Simak saja berita di koran-koran, bacalah buku sejarah, pelajari saja disertasi dan hasil penelitan para ahli, maka yang kita dapatkan adalah persoalan-persoalan yang teronggok tanpa penyelesaian. Semuanya teronggok bersama puluhan atau ratusan mayat di kuburan-kuburan massal yang membusuk tanpa nisan. Tak ada yang mampu menyibak tuntas peristiwa-peristiwa yang kemudian dijadikan sebagai misteri sejarah itu. Hanya serpihannya yang tercecer di sekitar kita. Tapi bahkan serpihannya pun tak mudah dibaca.
Lalu bagaimana menggairahkan dan meningkatkan reading habit? Ini tema yang diangkat dalam talkshow tersebut. Selain saya, hadir juga Yessy Gusman, mantan bintang film tahun 80-an, yang kebetulan juga bintang idola saya di masa remaja, dan bintang sinetron masa kini yang masih aktif, Eksanti. Yessy Gusman kini adalah aktivis taman bacaan di berbagai daerah yang mencoba mengkampanyekan buku agar disukai dan dicintai anak-anak. Sebuah lompatan yang luar biasa dan perlu diteladani oleh artis-artis yang mulai memasuki usia pensiun. Saya masih ingat betul bagaimana ia menjadi idola bersama Rano Karno lewat film-film yang diangkat dari novel-novel Eddy D Iskandar, seperti Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, dan novel-novel lainnya.
Yessy dan Eksanti sepakat bahwa para Ibu harus mengenalkan buku sedini mungkin pada anak-anak mereka. Caranya dengan membacakan dongeng sebelum tidur, mengajak anak ke toko buku untuk memilih buku yang mereka minati, bukan buku yang menurut selera orang tua. Saya sangat setuju. Tradisi membacakan dongeng sebelum anak tidur memang harus dilestarikan. Saya ditanya tentang meningkatkan reading habit untuk para remaja. Jawaban saya adalah apa yang selama ini saya lakukan, yaitu menulis dan menerbitkan buku yang sesuai dengan selera mereka. Contohnya adalah buku tentang lifestyle mereka, novel adaptasi dari film dan buku guidance untuk persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Di sisi lain, yang terpenting adalah sistem pendidikan dan support pemerintah untuk mengkampanyekan budaya baca secara terus menerus dengan memberi kemudahan pada para pengarang dan penerbit. Saat ini, buku masih dibebani pajak sebagaimana industri umumnya, dan pengarang juga dikenakan pajak penghasilan yang tinggi, 15%. Ini sangat berat untuk kebanyakan pengarang dan penerbit. Saya juga mengusulkan agar para selebriti menulis dan mengkampanyekan buku seperti yang dilakukan oleh Madonna.
Ferdi Hasan yang menjadi host acara tersebut akhirnya menutup acara dengan optimisme bahwa reading habit pasti akan bisa ditingkatkan dengan berbagai cara seperti yang dilakukan oleh Yessy Gusman dan juga penerbit yang bisa memahami cara pendekaran yang pas untuk remaja dan masyarakat kita pada umumnya. Juga para penulis tentunya harus bisa mengemas karya mereka sebaik-baiknya sehingga buku tidak menjadi benda asing bagi siapa saja. Dan bagi para ibu, rajin-rajinlah membaca dongeng pengantar tidur seperti yang dilakukan Eksanti. Ini mungkin sepele, tapi sungguh sebenarnya sama sekali tidak sepele! Reading habit adalah langkah awal untuk masa depan yang lebih baik bagi siapapun! (frg)

Tuesday, November 15, 2005

S-e-p-i

catatan rabu pagi 9


Selama setidaknya satu minggu setiap tahun, Jakarta menjadi kota yang sepi dan nyaman. Jalanan kosong, kantor-kantor senyap, café-café lengang. Tidak ada kemacetan, tidak ada suara klakson dan cacimaki, tidak ada wajah-wajah letih yang menatap kosong ke masa depan. Parkiran gedung DPR kosong melompong. Para anggota dewan yang biasanya mangkir dari sidang-sidang untuk “mewakili dan menyuarakan” suara rakyat, menghilang entah kemana. Mungkin berlibur lebaran ke New York, Paris, atau “hanya” Bali, bersama para pengusaha yang menjadi relasi mereka. Tapi mungkin juga mereka ikut menjadi rakyat dengan ramai-ramai mudik ke kampung halaman.

Sepinya Jakarta di saat libur lebaran adalah sebuah sepi yang ramai. Ada hiruk-pikuk kegelisahan di dalamnya. Ada keresahan, ada kemarahan, ada kekacauan yang mengisi sepi itu. Sepi semacam ini mulai dirasakan oleh Suciwati, istri almarhum Munir yang kasus pembunuhannya masih gelap gulita meski satu tahun lebih telah berlalu. Saya bertemu sejumlah teman yang juga teman baiknya Munir dan membicarakan betapa lemahnya komitmen kita untuk memperjuangkan sesuatu. Setelah setahun berlalu, upaya-upaya yang dilakukan teman-teman Munir untuk mengungkap kasusnya terlihat semakin lemah.

Sebelumnya, ketika pertama kali mengetahui Munir benar-benar dibunuh, banyak sekali teman-teman almarhum Munir yang mengepalkan tangan dan berkomitmen untuk berjuang mengungkap kasus pembunuhan Munir sampai tuntas. Tangan terkepal, rahang mengeras, dan mata nyalang penuh kemarahan. Berjuang! Lawan! Berjuang sampai dalangnya ditangkap dan diadili. Komitmen ini saya saksikan antara lain dalam acara 40 hari kematian Munir di Perpustakaan Nasional pada bulan Oktober 2004. Saya terharu dan merasa optimis pada komitmen tersebut.

Kini semua orang ditantang untuk konsisten pada komitmennya. Tapi kini juga Suciwati mulai merasa sepi. Mulai merasa sendiri. Mulai melihat betapa sulitnya memegang sebuah komitmen. Betapa beratnya beban sebuah komitmen. Sulit dan beratnya komitmen inilah yang mungkin membuat orang-orang mulai lelah dan kehabisan energi. Lalu, seperti biasa, orang-orang mulai membuat alasan-alasan untuk membenarkan dan memaafkan dirinya sendiri. Akibatnya, semua kembali sepi. Semua kembali seperti semula. Perubahan radikal, perjuangan revolusioner, komitmen tanpa kompromi, semua hanya dongeng pengantar tidur bagi orang-orang yang dikenal sebagai para pejuang kemanusiaan. Inipun jika masih ada pendongeng yang mau mendongengkannya karena dongeng Harry Potter jelas jauh lebih menarik.

“Tapi aku tetap optimis ada orang-orang yang mampu memegang dan berjuang untuk sebuah komitmen!”
Suci mengangguk. Pernyataan optimis saya siang itu mudah-mudahan bisa menghilangkan sepi yang mulai menteror dirinya.

Hari itu, Selasa, 15 November 2005, kebetulan ruang sidang di Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat juga sepi. Tidak ada saksi yang hadir untuk persidangan kasus pembunuhan Munir yang entah ke berapa. Di jalanan depan pengadilan, libur lebaran sudah berakhir dan Jakarta kembali ramai oleh bising klakson dan cacimaki. Dan sebuah perjuangan harus segera dimulai kembali. (frg)

Tuesday, November 01, 2005

Maaf

Catatan rabu pagi 8

Rabu pekan lalu, tidak ada catatan rabu pagi. Saya bisa mengemukakan banyak alasan untuk ketidakhadiran ini. Mulai dari alasan yang benar-benar rasional sampai alasan yang sangat tidak rasional alias sangat mengada-ada. Alasan yang rasional misalnya, saya diundang oleh Frankfurt Book Fair, bersama sejumlah penerbit buku anak dan remaja dari Iran, Turki, Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon, untuk berbicara tentang penerbitan buku anak dan remaja di negara masing-masing. Sebuah forum yang sangat menarik dan membuat saya lupa untuk menulis catatan rabu pagi pekan lalu. Ini alasan yang rasional, bermutu dan serius.

Alasan yang tidak bermutu dan mengada-ada, misalnya, saya sengaja tidak menulis catatan rabu pagi pekan lalu karena saya ingin membuat sebuah eksperimen tentang relasi-relasi di dunia internet melalui ketidakhadiran sebuah tulisan yang biasanya hadir setiap rabu pagi. Apakah ketidakhadiran tersebut mengakibatkan sebuah hari rabu menjadi tidak lengkap bagi sejumlah orang? Apakah keseimbangan di dunia internet terganggu karenanya? Lantas faktor substansial apakah yang menentukan ritme kehidupan rutin di dunia internet itu? Tentu saja semua pertanyaan sok filosofis di atas adalah mengada-ada bila dijadikan sebagai alasan ketidakhadiran tulisan saya. Tapi mungkin patut juga iseng-iseng direnungkan dan dicari jawabannya tanpa melibatkan soal ketidakhadiran catatan rabu pagi saya.

Begitulah kita. Kita adalah para pembuat alasan sepanjang hidup kita. Kita selalu membuat alasan untuk membenarkan diri kita. Entah berapa banyak waktu, energi, dan kreativitas yang kita habiskan sepanjang hidup kita hanya untuk membuat alasan-alasan. Tak ada yang tahu. Tak ada yang pernah menghitung. Efek paling buruk dari mentalitas manusia-manusia pembuat alasan adalah sebuah lingkaran pembenaran tak berujung yang menyesatkan hati pada wilayah kering kerontang tanpa kesejukan sebuah maaf. Ya, manusia-manusia pembuat alasan sulit untuk benar-benar meminta maaf secara tulus, sekalipun pada kesempatan Idul Fitri.

Hati manusia-manusia pembuat alasan kering dan gersang. Maaf menjadi sesuatu yang tak lebih dari sebuah basa-basi paling basi. Mengakui sebuah kesalahan menjadi sebuah pilihan yang tak kan benar-benar dipilih. Mungkin terlontar kata maaf, tapi itu hanya suara tanpa makna. Verbalisme klise. Dan semua tak kan pernah berubah. Manusia-manusia pembuat alasan tak kan pernah berubah. Mereka anti perubahan. Mereka seperti para penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan menolak segala bentuk perubahan. Sekecil apapun. Bila sekali waktu Anda pernah bertanya, mengapa bangsa kita menjadi bangsa terkorup ke 3 atau ke 4 di dunia, maka salah satu jawabannya adalah karena bangsa kita, para politisi, pejabat, dan tokoh-tokoh bangsa kita, dipenuhi oleh manusia-manusia pembuat alasan. Juga kaum intelektual kita, budayawan, dan para pejuang hak asasi juga.

Bila sekali waktu Anda pernah bertanya “mengapa bangsa kita susah sekali maju dan ketinggalan jauh disbanding negera Asia lainnya?” Maka jawabannya sama. Dunia industri dan berbagai sektor pembangunan dipenuhi oleh para koruptor yang sekaligus juga merupakan manusia-manusia pembuat alasan nomer wahid.

Saya hanya ingin meminta maaf untuk ketidakhadiran tulisan saya pekan lalu, dan inipun tetap dengan sebuah “upaya membuat alasan-alasan”. Itulah kita. Tapi dalam kesempatan ini saya benar-benar ingin meminta maaf tanpa alasan. Saya lalai, saya alpa, saya tidak memenuhi kewajiban yang saya canangkan sendiri, dan untuk itu saya minta maaf. Titik. Tanpa alasan. Saya rasa begitulah seharusnya sebuah maaf. Apalagi sebuah maaf di hari yang suci. Selamat hari raya Idul Fitri 1426. Mohon maaf lahir batin.

frg