Saturday, August 18, 2007

Tujuh Belasan

catatan rabu pagi 34

dimuat pula di rubrik Sikap (vhrmedia.com)

Jika Anda harus menjawab satu pertanyaan sederhana “apakah makna tujuh belasan bagi Anda?” dengan sejujur-jujurnya, apa jawaban Anda? Tujuh belasan, hari kemerdekaan Indonesia, Independence Day bangsa kita, masihkah menyimpan makna di hati kita? Jangan-jangan, maknanya tak lebih dari sekadar hari libur nasional yang dipenuhi serangkaian lomba di mana-mana. Jangan-jangan maknanya hanya sebuah kewajiban pengibaran bendera sang saka merah putih belaka. Atau upacara bendera di istana negara, sekolah-sekolah dan instansi-instansi pemerintah. Mungkin juga ada yang memaknainya sebagai hari pesta diskon berbagai produk, mulai dari rumah, mobil, berlian, barang-barang elektronik, pakaian, perabot rumah tangga, sampai beras, daging dan sayuran. Ini sah-sah saja karena makna sangat tergantung pada konteks kehidupan si pemberi makna dengan seluruh kompleksitas persoalannya.

Si Ucok yang seorang sopir Metromini jurusan Tanah Abang-Kota, mungkin akan memberi makna tujuh belasan sebagai terbebasnya Jakarta dari kemacetan lalu lintas yang menjadi santapannya setiap hari. Si Joko yang guru honorer di sebuah SD Negeri, barangkali akan memaknai tujuh belasan dengan mengenang Ki Hajar Dewantara sebagai figur pendidik yang dikaguminya. Teh Ninis yang lady escort di sebuah karaoke bisa saja memaknai tujuh belasan dengan tangis kebencian dan sakit hati pada Bapak Pejabat Tinggi yang pernah mencampakkan dirinya setelah 3 bulan dijadikan simpanan oleh Bapak Pejabat itu. Bu Siti yang pemilik Warung Tegal di atas sebuah selokan di Bekasi, memaknai setiap tujuh belasan sebagai hari amal kerupuk untuk lomba makan kerupuk di pemukiman kumuh tempat tinggalnya. Koh A Liong yang pemilik pabrik tahu hanya bisa memaknai tujuh belasan dengan mendoakan saudara-saudaranya yang menjadi korban peristiwa Mei 1998.

Tujuh belasan memang seharusnyalah terus dimaknai secara kontekstual oleh seluruh rakyat Indonesia. Para akademisi, politikus, cendekiawan dan budayawan pun beramai-ramai menulis artikel, esai, bahkan makalah untuk mencari apa makna tujuh belasan setiap tahun. Ada yang mempertanyakan kembali nilai-nilai kebangsaan, ada yang menggugat ketidakadilan dan ketidakmerdekaan rakyat kecil dari kemiskinan, ada juga yang menggugah rasa nasionalisme dan partriotisme generasi muda yang semakin hilang atau memupus. Atau bahkan ada juga yang memaki-maki penuh amarah pada para pejabat korup dan para wakil rakyat yang tidak juga lulus dari TAMAN KANAK KANAK meskipun sudah 5 tahun belajar. Dari berbagai aspek kehidupan, pemaknaan terhadap tujuh belasan, menyimpan banyak sekali pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia.

Satu pemaknaan yang mendasar tentang apa itu “merdeka” juga selalu berubah dan tak pernah bisa tuntas. Dalam perayaan tujuh belasan tahun ini, mungkin saja Simon merdeka secara ekonomi; artinya rejeki cukup melimpah untuk mengepulkan asap dapur dan beli mobil baru atau beli rumah ketiga dengan harga diskon tujuh belasan. Tapi dalam perayaan tujuh belasan tahun ini, Simon ternyata tidak merdeka secara hukum karena duit melimpah yang dibelanjakan itu adalah duit hasil penggelapan pajak sejumlah pengusaha yang menjadi kliennya sebagai seorang petugas pajak. KPK pun kemudian membuat Simon tidak merdeka secara hukum. Simon deg-degan setiap hari dan sama sekali tidak merdeka karenanya.

Di tahun lalu, Parman, seorang aktivis, merasa tidak merdeka karena tidak bisa mengekspresikan pendapat secara bebas tentang praktik-praktik pembalakan hutan, pencemaran lingkungan, dan penggusuran tanah yang terjadi di berbagai wilayah pelosok Indonesia. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi pun sangat dibelenggu oleh berbagai peraturan. Ini membuat Parman merasa semakin tidak merdeka meski ikut aktif merayakan tujuh belasan di rumahnya dan menang lomba balap karung. Dan di tahun ini, Parman merasa semakin tidak merdeka karena secara ekonomi ia juga semakin kehilangan penghasilan. Funding yang mendanai lembaganya tidak mau lagi melanjutkan kontrak untuk program baru yang diajukan Parman. Parman memang tetap ikut merayakan tujuh belasan dan kembali menang lomba balap karung, tapi ia sungguh merasa sangat tidak merdeka.

Makna kemerdekaan memang sangat luas dan sekaligus sangat kontekstual. Setiap tahun kita bisa memaknai tujuh belasan sesuai kondisi-kondisi yang terjadi pada diri kita secara personal maupun kondisi-kondisi yang dialami bangsa kita secara keseluruhan. Tahun ini, saya sendiri hanya memaknai tujuh belasan sebagai kemerdekaan dari belenggu-belenggu keserakahan yang kerap menjebak kita dalam kehidupan yang mematikan. Mungkin karena pemaknaan yang sederhana inilah, saya mendapat undangan dari Istana Negara untuk hadir dalam tujuh belasan tahun ini.

Merdeka! [frg]