Monday, July 23, 2007

Kompor Mleduk

catatan rabu pagi 40

Pernah dengar lagu “Kompor Mleduk” ciptaan seniman serba bisa, almarhum Benyamin Sueb? Lagu itu sungguh berhasil menangkap persoalan keseharian dengan jeli. Syairnya jenaka dan sangat mengena dengan kehidupan rakyat kecil di Jakarta (dan kota-kota besar lainnya). Dan persoalan kompor ternyata tetap relevan hingga kini, bahkan kembali menjadi topik hangat di warung-warung kopi, warung-warung tegal, warung-warung sunda, dan warung-warung tempat nongkrong rakyat kecil lainnya. Masalahnya adalah kebijakan pemerintah DKI untuk mengganti minyak tanah yang digunakan rakyat kecil dengan gas elpiji.

Ini sebuah persoalan serius karena menyangkut hajat hidup orang banyak di seantero pelosok Jakarta. Minyak tanah dan kompornya menjadi bahan bakar pilihan rakyat kecil karena fleksibilitasnya untuk diakses. Orang bisa membeli hanya setengah liter dan mengepulkan asap dapurnya hanya dengan setengah liter minyak tanah. Sementara gas elpiji, meskipun tabungnya diberikan gratis dan berukuran kecil, tetap saja tidak mungkin dibeli eceran. Orang tak bisa membeli setengah tabung gas saja ketika benar-benar bokek! Akibatnya? Asap dapur tak akan bisa ngebul dan sejumlah perut akan keroncongan. Amat, seorang Betawi penggemar Benyamin Sueb, melontarkan argumen ini dengan berapi-api karena ia tak bisa paham mengapa pemerintah DKI mengambil keputusan penggantian itu.

Kemarahan Amat jelas sufficient reason. Cukup alasan. Kompor minyak tanah baginya adalah pilihan ideal bagi rakyat kecil yang harus berjuang untuk bisa survive di ibukota yang kejam. Bahwa rakyat Indonesia di akar rumput sudah sangat teruji daya tahan atau resistensinya menghadapi kejamnya kemiskinan, bencana banjir, dan segala bentuk deraan derita, ini soal lain. Ini juga jelas tidak bisa menjadi pembenaran untuk semakin mengeksploitasi dan menindas mereka atau melakukan pembiaran terhadap kemiskinan. Minyak tanah mungkin dianggap sebagai simbol kemiskinan, tapi menggantinya dengan gas elpiji tanpa solusi riil untuk peningkatan kesejahteraan mereka adalah konyol.

Kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial memang seakan sudah menjadi ciri pemerintah kita. Pendekatan legal-formal untuk mengatasi persoalan di dunia nyata seakan menjadi solusi termudah yang selalu diambil. Padahal jelas, yurisprudensi hanyalah perangkat normatif yang harus dibarengi oleh tindakan-tindakan kongkrit untuk penyelesaian masalah. Belum lagi berbagai kepentingan politik dari segala macam kelompok yang pasti akan ikut bermain untuk menggolkan berbagai rancangan undang-undang sesuai kepentingan mereka. Situasi yang tercipta dari pendekatan semacam ini untuk menyelesaikan berbagai masalah, adalah ibarat kompor yang bisa “mleduk” setiap saat dan mengakibatkan kebakaran besar. Akibatnya pasti kembali pada rakyat kecil.

Mungkin tanpa sadar kita sudah mengamini asumsi “rakyat selalu menjadi korban” sebagai kebenaran. Sungguh menyedihkan. Asumsi ini jelas salah karena tak seorang pun, terutama yang tak bersalah, pantas menjadi korban. Apalagi dikorbankan! Sejarah sudah membuktikan dan mengajarkan banyak hal tentang rakyat yang seharusnya mendapatkan semua hak-haknya yang paling asasi, tapi mengapa sepertinya otak kita begitu bebal? Mengapa “mengorbankan rakyat” terus saja menjadi cerita dan berita dalam kehidupan kita sejak Orde Baru sampai Orde Pasca Reformasi kini? Anda punya jawaban jitu untuk pertanyaan-pertanyaan di atas? Kalau punya, cobalah masak sampai matang di atas kompor minyak tanah agar benar-benar beraroma rakyat kecil. Agar satu kompor minyak tanah terselamatkan dan satu keluarga miskin di Jakarta bisa melanjutkan hidup, setidaknya satu hari lagi. (frg)