Wednesday, April 26, 2006

Zatoichi

Catatan rabu pagi 25

Jago pedang Jepang bermata buta yang tak terkalahkan, Zatoichi, di akhir film, jatuh tersandung dan berkata: “Bahkan dengan mata terbuka sekalipun, aku tak bisa melihat apa-apa.” Mata Zatoichi yang selalu terpejam, saat itu memang dibukanya dan terlihatlah sepasang biji mata memutih serupa rambutnya. Statement Zatoichi jelas merupakan sebuah tamparan atau kecaman terhadap semua orang yang memiliki mata yang tidak buta. Mata yang bisa melihat dengan jelas. Orang-orang dengan mata normal seperti kita, memang kerap tidak bisa “melihat” dengan matanya yang melek. Kita kerap “tidak melihat” penderitaan di depan mata, “tidak melihat” kejahatan di hadapan kita, “tidak melihat” penindasan, dan juga “tidak melihat” kebaikan atau kebenaran yang teronggok bisu di depan mata.

Sebelum tersandung saat berjalan santai, Zatoichi baru saja mengalahkan seorang samurai hebat yang menjadi pengawal andalan Bos Ginzo, pemimpin kelompok mafia yang tengah berkuasa. Cikal bakal Yakuza. Pertarungan tingkat tinggi antara dua jagoan itu hanya memakan waktu singkat. Keduanya lebih lama membatu dengan posisi siap serang, saling membaca pikiran untuk mengetahui kemungkinan gerakan satu sama lain. Dan pada detik terakhir sebelum pertarungan, Zatoichi mengubah posisi serangnya secara drastis. Lawan pun terkecoh habis dan tak bisa berbuat apa-apa ketika kelebat pedang Zatoichi menyambar tubuhnya dari posisi yang sama sekali tak diduga. Zatoichi juga terluka, tapi hanya di bahunya. Ia memenangkan pertarungan itu dengan matanya yang buta. Kebutaan Zatoichi justru membuatnya awas dan memiliki penglihatan yang sangat tajam melalui pendengaran, penciuman, dan indra-indra lainnya. Ia “bisa melihat” dengan jelas kejahatan di depan matanya yang buta, ia “bisa melihat” dengan jelas kesewenang-wenangan di depan mata butanya.

Kekejaman dan kekerasan yang sadistik, mewarnai perjalanan hidup Zatoichi sebagai seorang jago pedang pemberantas kejahatan yang selalu berkelana sepanjang hidupnya. Di mata orang-orang kecil yang dibelanya, Zatoichi hanya dikenal sebagai seorang tukang pijat buta. Ia tidak terbius oleh kehebatannya sendiri sebagai seorang jago pedang. Ia tidak tergoda untuk mencari kekayaan atau kekuasaan dengan ilmu pedangnya yang luar biasa. Kalau mau, ia bisa saja menjadi sangat berkuasa dan kaya raya dengan ilmu pedangnya. Tapi Zatoichi tidak melakukannya. Ia lebih memilih menjadi seorang tukang pijat yang mendapatkan imbalan ala kadarnya dengan menyembuhkan orang dari keletihan tubuh dan pikiran karena beban hidup yang berat. Ia mencoba memperingan dan menguatkan orang-orang kecil yang berjuang untuk mempertahankan hidup mereka dari berbagai himpitan. Kita memang harus kuat dalam menghadapi hidup yang keras dan kejam karena sepanjang sejarah kehidupan manusia, kekerasan dan kekejaman selalu saja terjadi akibat para penguasa yang sewenang-wenang.

Zatoichi adalah tokoh fiktif dalam dunia persilatan Jepang. Kita juga punya jagoan buta bernama Si Buta dari Goa Hantu yang kesaktian, ilmu pedang, dan kemuliaan jiwanya sama hebat dengan Zatoichi. Pertanyaannya kemudian: “Mengapa kita tidak menjadi seperti Jepang yang bangkit dari kehancuran Perang Dunia II dan menjadi bangsa maju dalam perekonomian, industri, dan tehknologi?” Saya yakin, Anda semua punya jawabannya. Tapi jawaban saya sendiri adalah: “Karena Si Buta dari Goa Hantu berkostum kulit ular dan memiliki seekor monyet, sedangkan Zatoichi hanya berkostum orang biasa dan tidak memiliki seekor monyet!” (frg)

Tuesday, April 18, 2006

Kereta (bukan) Kencana

catatan rabu pagi 24

Selasa sore kemarin (18/4/06), palang kereta api listrik (KRL) di perlintasan Lenteng Agung menutup dengan bunyi khasnya, tuing-tuing-tuing. Semua kendaraan yang hendak melintas berhenti dengan tertib. Wajah-wajah penat, wajah-wajah suntuk, wajah-wajah dingin, termangu di belakang kemudi mobil mereka. Sedikit wajah-wajah ceria, tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik dari pemutar cakram mobil mereka. Para pengedara motor, sebagian besar melemaskan otot-otot tangan dan pinggang mereka, mengambil kesempatan itu sebagai jeda sejenak yang berguna. Ini hanya sebuah rutinitas biasa di perlintasan-perlintasan KRL seantero Jabotabek. Sebuah rutinitas di sebuah sore yang kebetulan tidak diguyur hujan deras. Semua menunggu kereta yang segera lewat. Sebuah KRL kelas ekonomi, bukan sebuah kereta kencana yang megah.

Normalnya, KRL akan melintas dalam waktu 2 sampai 3 menit setelah palang diturunkan dan semua kendaraan akan merangsak maju dalam kemacetan yang menjadi semakin parah seiring senja menjelang. Tuing-tuing-tuing. Sudah lewat 3 menit, tapi kereta masih tak nampak batang hidungnya. Jangankan batang hidungnya, desis dan lengkingnya yang menggetarkan tak sedikit pun terdengar. Orang-orang mulai kesal dan marah. Deretan bermacam kendaraan semakin menyemut panjang. Lima menit berlalu bersama bunyi ‘tuing-tuing-tuing’ yang depresif. Irama monoton itu hanya bisa ditoleransi pendengaran sebagai bunyi yang lucu paling lama 2 menit saja. Lewat dari 2 menit, bunyi itu menjadi jarum tajam yang menghunjam-hunjam gendang telinga. Menambah stres dan kemarahan yang terus menggumpal setiap hari di jantung dan otak warga Jakarta. Klakson pun mulai melengking-lengking seperti lolongan anjing melihat setan dan iblis.

Kereta tak jua lewat. Senja memerah oleh gumpalan kemarahan. Para pengendara motor mulai menerobos palang perlintasan. Sebagian sambil memaki-maki. Tuing-tuing-tuing. Palang perlintasan bergerak naik-turun oleh para penerobos yang mengangkatnya berkali-kali. Seorang kekasih mungkin menunggu mereka, membuat mereka panik dan tak peduli lagi pada bahaya. Itulah cinta dalam tahap dan kadar tertentu. Pengendara lain mungkin panik karena sebuah kesempatan mendapatkan order atau projek bisa lenyap karena kereta (bukan) kencana yang tak jua melintas itu. Sudah 10 menit berlalu saat semakin banyak pengendara motor menerobos perlintasan. Satu-dua angkot juga bergerak, nekat menerobos mengikuti pengendara motor. Antrian kendaraan sudah mencapai ratusan meter panjangnya.

Lalu setelah sekitar 15 menit, palang perlintasan terangkat ke atas bersamaan dengan raungan mesin dan klakson yang membabi buta. Semua merangsak maju dan mencoba menyerobot dengan penuh kemarahan. Kereta (bukan) kencana itu ternyata tidak jadi lewat! Semua orang merasa terkecoh. Semua orang merasa ditipu mentah-mentah oleh KRL yang, entah kenapa, tak jadi lewat itu. Saya, yang kebetulan menjadi bagian dari massa terkecoh itu, seketika paham mengapa kereta Sembrani bertabrakan minggu lalu. Saya juga seketika paham mengapa kereta (bukan) kencana lainnya menabrak metro mini kemarin siang. Saya seketika sedikit lebih paham mengapa kerap terjadi kecelakaan kereta di negeri tercinta ini. (frg)

Ps. Saya turut berduka cita sedalam-dalamnya untuk semua keluarga korban kecelakaan kereta Sembrani dan KRL Pakuan Ekspres yang terjadi sepanjang pertengahan April 2006. Semoga tak lagi terjadi.

Tuesday, April 11, 2006

Playboy Indonesia

Catatan Rabu Pagi 23

"Mengapa Playboy Indonesia menjadi sesuatu yang dihebohkan? Adakah alasan yang masuk akal (logis) untuk penolakan terhadap majalah itu, selain karena dianggap sebagai ikon pornografi Amerika?"

Sebenarnya, bahkan alasan “ikon pornografi Amerika” pun masih sangat bisa diperdebatkan kelogisannya. Salah satu hal yang diangkat sebagai titik lemah dari pihak manajemen Playboy Indonesia oleh para pemrotesnya adalah penjualan. Tadinya, dalam sebuah kesepakatan tidak tertulis dengan sejumlah pihak pemrotes, manajemen Playboy konon sempat menyatakan tidak akan menjualnya di tempat-tempat asongan umum. Tapi pada hari edar pertama, setidaknya selama satu hari, para pengasong menjajakannya di jalanan. Ini membuat para pemrotes, seperti Majelis Mujahiddin dan kawan-kawan seperjuangannya, berang dan mengibarkan bendera perang. Tapi pada hari kedua, sudah tidak terlihat lagi Playboy dijajakan di jalanan.

Saya tidak tahu kenapa. Ada kemungkinan majalah itu habis dibeli oleh para peminatnya yang sudah sekian lama menunggu-nunggu. Ada kemungkinan majalah itu disembunyikan oleh para pengasong karena takut sweeping yang akan dilakukan para pemrotes. Ada juga gabungan 2 kemungkinan itu, sebagai kemungkinan ketiga. Apapun ceritanya, majalah itu lenyap dari jalanan pada hari kedua dan juga dari para pengecer di lapak-lapak mereka di pinggiran jalan, terminal, stasiun, maupun pengecer di mal-mal. Hmm, seandainya saya jadi pengelola majalah itu, saya akan buru-buru mencetak lagi puluhan atau ratusan ribu eksemplar. Bukan karena apa-apa, tapi lebih karena saya realistik. Hipotesa realistik saya adalah: majalah itu diminati banyak orang. Majalah itu juga tidak mengandung gambar perempuan telanjang yang menggoda syahwat. Jadi, mengapa harus mundur? Kenyataan ini saya duga menjadi dasar mengapa manajemen Playboy berani menjualnya di jalanan pada hari pertama. Lantas mengapa di hari kedua majalah itu lenyap dari jalanan?

Kebetulan, saya menjadi salah seorang yang diminta menulis untuk Playboy Indonesia edisi perdana itu. Sebagai salah seorang kontributor saya tidak keberatan majalah itu tetap dijual di jalanan, tentu selama isinya tidak vulgar. Saya benar-benar tidak dapat menemukan satu saja alasan logis dari penolakan terhadap majalah itu. Dalam somasi yang diajukan oleh kelompok Mujahiddin Indonesia, salah satu dasar pemikiran yang diajukan adalah “gambar porno” yang bisa merusak moral bangsa (apakah orang-orang menjadi koruptor gara-gara gambar porno?), mengancam eksistensi manusia (apakah para pemikir dan filsuf pernah mengemukakan teori eksistensialisme semacam ini?), dan (hebatnya) mengakibatkan penyakit kelamin. Ck-ck-ck…. Gambar porno macam apakah yang bisa punya kekuatan sedahsyat itu? Tapi kita tidak bisa membahas “gambar porno mahasakti” itu, karena faktanya, tidak ada gambar porno dalam majalah Playboy Indonesia, apalagi bila definisi porno yang dirujuk adalah perempuan telanjang dengan pose-pose menggoda dan menantang.

Dalam logika (lagi-lagi logika) sederhana, tidak mungkin majalah Playboy Indonesia menjadi porno, hanya karena namanya Playboy, padahal isinya tidak memuat materi porno. Sesuatu bisa disebut dan dikategorikan porno bila memang substansinya porno. Artinya, harus dibedakan dengan jelas terlebih dahulu, apa sebenarnya yang diributkan? Apa sebenarnya yang dilawan? Perlawanan terhadap pornografikah, atau perlawanan terhadap Amerika yang melahirkan Playboy? Ini dua hal yang berbeda. Dan sebaiknya memang tidak dicampuradukkan.

Kejernihan berpikir dan kedewasaan bersikap barangkali bisa menjadi pelajaran penting bagi siapapun dewasa ini. Hanya kejernihan berpikir dan kedewasaan bersikap yang bisa menjadi jaminan sebuah masyarakat demokratis yang kita cita-citakan bersama. Hanya dengan pikiran jernih dan sikap dewasalah, kita akan mampu membedakan mana persoalan penting, urgent, dan substansial, dan mana yang bukan. (frg)