Mari Mendongeng!
Tutup ember plastik besar berwarna merah adalah matahari. Ember mandi bayi yang bolong bagian bawahnya adalah perahu. Kardus bekas berbentuk jajaran genjang dengan lobang kecil di ujungnya menjadi seekor hiu besar dan ganas bermata buta yang siap mencaplok bocah kecil berseragam Sekolah Dasar bernama Pahlawan jika ia tak menyerahkan telor kerang langka yang ada di kantongnya. Pahlawan berjuang keras mengarungi samudera untuk mendapatkan telor kerang langka guna mengobati mata ibundanya yang juga buta. Tapi kini hiu ganas buta itu mengancam akan memangsa dirinya jika ia tak menyerahkan telor itu. Pahlawan bingung. Ia merajuk dan merayu hiu itu agar tidak meminta telor kerang langka, tapi si hiu tetap memaksanya. Negosiasi kemudian terjadi. Pahlawan yang gigih dan pantang menyerah kemudian berhasil membuat kesepakatan dengan si hiu. Jika ia menyerahkan telor kerang langka itu maka si hiu harus membantunya mencari obat lain guna menyembuhkan mata ibundanya. Si hiu setuju. Dan pahlawan kembali berjuang mengarungi samudera sampai ke berbagai benua untuk mencari obat buat ibundanya.
Dongeng tentang pahlawan itu tidak ditonton dan didengarkan oleh anak-anak SD tapi justru para mahasiswa Universitas Indonesia, para aktivis LSM, para akademisi dan juga seniman dan budayawan, yang menontonnya ketika pendongeng Aceh yang unik, Agus Nur Amal atau Agus PM Toh, mementaskannya di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Bak kembali ke masa kanak-kanak yang penuh keceriaan dan kegembiraan, para penonton atau pendengar dongeng dewasa itu, tertawa tergelak hampir di sepanjang pertunjukan. Agus, dengan busana khas Aceh berwarna hitam, membawa semua hadirin kembali menjadi kanak-kanak yang selalu menjalani kehidupan dengan semangat kegembiraan, kepolosan, dan ketulusan. Anak-anak yang secara spontan tertawa atau menangis ketika bergembira atau bersedih. Anak-anak yang secara gigih berjuang untuk membantu orang lain tanpa pamrih apapun. Inilah sifat-sifat kebaikan yang mampu memunculkan jiwa kepahlawan pada orang-orang yang memilikinya.
Namun seiring bertumbuh dewasanya seseorang, sifat-sifat yang mengandung potensi kepahlawanan itu terkikis, menipis, dan pada sebagian besar orang bahkan sama sekali habis. Hilang. Lenyap tanpa bekas. Dan terjadilah kemudian pertikaian, perkelahian, saling jegal, saling fitnah, kekerasan, pembunuhan, bahkan pembantaian. Kehidupan lalu menjadi begitu mengerikan. Bahkan anak-anak masa kini terancam oleh kehidupan yang mengerikan ini. Ruang-ruang untuk kejujuran, ketulusan, kepolosan, persahabatan, tanpa terasa semakin mengecil.
Di zaman ini, anak-anak sudah sejak lahir dihisap masuk ke dalam kotak kaca bernama televisi yang tidak memiliki dongeng-dongeng indah yang sederhana, mendidik dan mengarahkan mereka pada imajinasi bernilai kepahlawan seperti dalam dongeng PM Toh. Yang ada di televisi hanya sinetron-sinetron yang justru berpotensi merusak potensi kepahlawanan pada jiwa anak-anak. Mungkin masih ada satu-dua produk sinetron televisi yang cukup baik sebagai pengganti dongeng yang semakin hari semakin musnah. Tapi itu sangat jarang. Hanya satu-dua dalam kurun waktu yang lama. Mengapa? Sederhana saja, karena produk semacam itu umumnya tidak laku. Sebuah televisi swasta yang pernah menampilkan Agus PM Toh, terbukti tidak cukup mampu mempertahankan acara dongeng PM Toh yang mereka tayangkan. Acara-acara dongeng lainnya yang pernah dicoba diproduksi dan ditayangkan oleh sejumlah televisi swasta lainnya, juga rata-rata bernasib sama. Menyedihkan melihat anak-anak tumbuh tanpa dongeng-dongeng yang sederhana tapi sungguh mampu mengembangkan imajinasi kepahlawanan mereka.
Dongeng Pahlawan dipentaskan Agus PM Toh dalam sebuah konperensi tentang demokrasi dan perlawanan terhadap tirani modal yang menguasai masyarakat Indonesia dan masyarakat di negara-negara lainnya. Konperensi yang berlangsung pada awal bulan Agustus ini memang tidak secara khusus membahas persoalan-persoalan anak di Indonesia masa kini, tapi karena tujuannya untuk mencari wajah Indonesia baru yang lebih baik di masa mendatang, maka nasib anak-anaklah sebenarnya yang menjadi pokok soal utama dalam acara tersebut. Nasib anak-anaklah yang dibicarakan dan dibahas oleh para pemikir, para seniman dan budayawan, para ahli ekonomi dan politik yang menjadi narasumber dalam acara itu. Dan persoalan Indonesia baru yang lebih baik, lebih damai dan sejahtera, adalah tanggung jawab setiap rakyat Indonesia tanpa membedakan apa status sosial-ekonomi, agama, suku, profesi, maupun jenis kelamin. Lalu apa wujud sumbangsih paling kongkrit dan paling penting yang bisa diberikan oleh setiap rakyat Indonesia tak peduli dia miskin atau kaya, lelaki atau perempuan, Aceh atau Papua, Islam atau Hindu?
Jawabnya sederhana. Mari beramai-ramai menjadi Agus PM Toh! Ya, mari kita kembali mendongeng untuk anak-anak kita! Dulu, entah berapa puluh tahun yang lampau, masih banyak orang tua mendongeng untuk meninabobokan anak-anak mereka. Kini, tradisi ini semakin terancam punah. Ini sangat menyedihkan karena bahkan di negara-negara maju sekalipun, tradisi mendongeng masih dicoba dipertahankan oleh banyak orang tua. Mengapa? Karena dongeng memang penting dan efektif untuk mendidik dan menaburkan benih-benih kebaikan pada jiwa anak-anak. Karena dongeng terbukti berhasil menjadikan dirinya sebagai sarana pendidikan dini yang disukai anak-anak. Jadi, wahai semua orang dewasa di Indonesia, mari mulai mendongeng untuk anak-anak kita demi masa depan Indonesia yang lebih baik. (frg)