Tuesday, April 01, 2008

Matinya Tukang Gorengan

juga dimuat di rubrik Sikap, Maret 2008

Saat untuk pertama kalinya harga minyak goreng melejit, kira-kira beberapa minggu sebelum Soeharto mulai kritis, seorang tukang gorengan diberitakan mati gantung diri. Mungkin peristiwa itu sudah mulai terkikis dari memori Anda, tertumpuk oleh begitu banyak peristiwa lain yang lebih penting, lebih dramatik, atau lebih menyedihkan lagi. Penderitaan seorang tukang gorengan barangkali hanya sebuah peristiwa kecil saja yang tidak terlalu penting bagi banyak orang. Tapi bagi saya, seorang tukang gorengan sama pentingnya dengan seorang pejuang hak asasi sekaliber Munir atau seorang Marsinah. Ia juga sama hebatnya dengan seorang diktator seperti Marcos atau Soeharto yang bisa berjaya sebagai diktator selama puluhan tahun. Tukang gorengan itu juga seorang pejuang yang tak kalah hebatnya dibandingkan para aktivis Green Peace yang sangat getol memprotes tindakan-tindakan para perusak lingkungan. Mengapa ia begitu hebat di mata saya?

Ia hebat karena penderitaannya sebagai rakyat kecil adalah penderitaan yang memungkinkan seorang diktator seperti Soeharto atau Marcos terus berkuasa sampai kematian merenggut nyawa mereka. Berkat penderitaan merekalah, para diktator bisa berpesta pora menghamburkan kekayaan negara yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan perlawanan dari para pembela rakyat. Dalam mata rantai ini, rakyat seperti tukang gorengan yang mati bunuh diri lalu pantas menyandang gelar martir bagi kehidupan yang lebih baik. Memang, nasib mereka diperjuangkan, dijadikan pertaruhan politik, atau ditindas secara kejam seolah merekalah kaum lemah paling tak berdaya. Tapi sebenarnya merekalah yang paling kuat. Merekalah yang paling kuat menghadapi penindasan dan penderitaan, merekalah yang paling kuat menahan badai kerusuhan politik. Mereka jelas menjadi korban dalam banyak lapisan peristiwa yang didalangi oleh para elit politik, tapi mereka tetap bertahan.

Seorang tukang gorengan juga sama hebatnya dengan Munir atau Marsinah karena api semangat perjuangan seorang Munir atau seorang Marsinah bersumber dari rakyat kecil seperti tukang gorengan itu. Nasib dan kehidupan merekalah yang mengobarkan darah perlawanan seorang pejuang kemanusiaan. Cerita perjuangan orang-orang semacam Munir atau Marsinah tak kan pernah lepas dari akar perjuangan hidup rakyat kecil seperti tukang gorengan itu. Bayangkanlah bagaimana seorang tukang gorengan menjalani kehidupannya. Jika Anda seorang eksekutif muda, seorang karyawan bank, seorang manajer pabrik sabun, seorang birokrat pemda, atau seorang mahasiswa, dan ternyata tidak bisa menemukan bayangan kehidupan tukang gorengan, cobalah beli gorengan untuk menemani secangkir teh yang baru Anda seduh. Saat itu, ngobrollah dengan tukang gorengan untuk mengetahui seperti apa kehidupannya. Mungkin Anda perlu beberapa kali membeli untuk membangun keakraban dengan si tukang gorengan sampai dia mau bercerita tentang kehidupannya. Abaikan dulu soal kolestrol atau darah tinggi akibat minyak goreng curah.

Setelah tiga-empat kali ngobrol, mungkin bayangan seperti ini akan terbangun di benak Anda: “Tukang gorengan hidup di rumah petak kontrakan di daerah yang kumuh dan sumpek, ia memiliki seorang istri dan tiga anak yang semuanya sudah putus sekolah di tingkat sekolah dasar. Istrinya sakit-sakitan dan tak bisa lagi menjadi buruh cuci freelance sehingga jatah makan mereka semakin berkurang karena tak ada tambahan penghasilan. Si tukang gorengan harus berhutang untuk menambah modal jualannya setiap hari. Dari hari ke hari seiring kenaikan harga tempe dan minyak goreng, hutangnya makin menggunung……”

Anda bisa meneruskan kisah ini sampai sejauh-jauhnya untuk mengeksplorasi penderitaan rakyat kecil seperti tukang gorengan. Di luar profesi ini, kehidupan rakyat kecil lainnya juga tak kalah penuh oleh cerita pilu yang tak ingin Anda simpan dalam memori otak belakang. Dari cerita rekaan itu, mungkin sebagian Anda tetap tidak bisa memahami mengapa seorang tukang gorengan harus bunuh diri karena harga minyak goreng melambung. Bunuh diri memang bukan solusi yang baik dari sudut pandang agama khususnya, tapi kematian seorang tukang gorengan yang bunuh diri tidak akan menjadi sia-sia jika sesudahnya pemerintah berupaya keras menurunkan harga minyak, harga tempe, dan harga bahan kebutuhan lainnya. Kematian seorang tukang gorengan juga tidak menjadi sia-sia jika para koruptor dan pengusaha kaya lantas berhenti melakukan pemiskinan dan mempermainkan nasib rakyat. Kita bisa menambahkan daftar ketidaksia-siaan ini untuk diri kita di bidang masing-masing.

Jadi ketika seorang tukang gorengan mati bunuh diri, apakah dia kalah dalam perjuangannya sebagai rakyat? Ya, dia kalah tapi kekalahannya adalah sekaligus kemenangan, jika kemudian menggerakkan kita untuk berbuat sesuatu guna memperbaiki keadaan di sekeliling kita. (frg)