Thursday, January 24, 2008

Si Gila dari Muara Bondet

juga dimuat di rubrik Sikap, vhrmedia.com.


Kegilaan masih menjadi tema kita yang menarik dan relevan saat ini. Seperti pagi ini, sebuah peristiwa membuat saya bertanya lagi tentang kegilaan. Alkisah, adalah seorang perempuan mengalami gangguan pikiran dan mental di sebuah kampung nun jauh di pinggiran Jakarta. Orang-orang bilang perempuan itu gila karena ditinggal suaminya. Ada yang kasihan, ada yang tidak peduli, ada juga yang senang karena membenci ayah si perempuan gila, yang adalah mantan lurah di kampung tersebut. Perhatian pada perempuan itu meredup seiring waktu. Tingkah aneh seperti berdandan cantik tapi dengan lipstik belepotan di pipi dan berjalan membelah jalan raya di garis tengahnya (sehingga membuat mobil, motor, angkot, dan kendaraan lain yang melintas terkaget-kaget), sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Perempuan gila itu lalu hanya menjadi objek penderita yang tidak menarik lagi.

Kegilaan yang disetempelkan masyarakat pada kening perempuan itu tentu tetap melekat pada dirinya. Cap masyarakat itu semacam stempel seumur hidup. Tak peduli ada kala di mana si perempuan tidak pernah terlihat aneh lagi dan juga tidak berkeliaran di jalanan, stempel itu tetap melekat. Kalaupun misalnya ia sembuh, orang-orang tetap akan mengatakan bahwa dia pernah gila, atau masih sedikit gila, atau tetap gila tapi sedang tidak kumat. Berbulan-bulan kemudian, masyarakat tiba-tiba kembali membicarakan perempuan itu. Si gila itu hamil! Ini lalu menjadi topik pembicaraan hangat di seluruh lapisan masyarakat. Bapak-bapak di pos ronda dalam kibaran sarung mereka (meminjam puisi Joko Pinurbo), ibu-ibu berdaster seksi di tukang sayur langganan mereka, remaja karang taruna di kompleks perumahan kumuh, sopir angkot, tukang ojek, dan anak-anak sekolah dasar pun, sibuk membahas berbagai spekulasi, analisa, hipotesa, dan prediksi-prediksi tentang kehamilan perempuan itu. Sama persis dengan perhatian media massa dan masyarakat luas pada kasus sakitnya Soeharto, tapi dalam level dan skala yang berbeda.

Spekulasi, analisa, hipotesa, dan prediksi yang secara serius dibahas selama beberapa minggu berkisar soal siapa gerangan yang menghamili perempuan gila itu, bagaimana caranya dia menyetubuhi si gila, bagaimana si pemerkosa bisa bernafsu, di mana dan berapa kali itu terjadi. Lalu ada juga bagian-bagian yang dibahas sambil berbisik-bisik: bagaimana ya rasanya? Dan seterusnya , dan seterusnya. Tentu ada juga yang awalnya dimulai dengan penuh keprihatinan: kok tega ya? Gila benar tuh orang! Siapa sebenarnya yang gila? Tapi selanjutnya tetap akan sampai juga pada fokus serupa.

Seiring waktu, perut si perempuan malang itu pun makin membuncit. Kegilaan-kegilaan perilakunya pun mulai berbeda. Kalau dulu ia suka berdandan, semenjak perutnya membuncit ia lebih senang hanya berpakaian celana pendek dan membiarkan payudara dan perut buncitnya tanpa sehelai pakaian pun. Kalau dulu ia suka tertawa-tawa histeris, kini ia kerap terlihat sedih. Awalnya, ini membuat orang-orang kembali memberi perhatian besar pada dirinya. Tapi siklus yang sama tetap terulang. Seiring waktu orang-orang kembali mengacuhkan dan menjadikannya objek penderita yang tidak penting.

Orang-orang kembali pada rutinitas mereka. Pada ketidakpedulian dan pada pembiaran yang sudah menjadi bagian integral eksistensi orang-orang. Hidup yang melelahkan sebagai orang kecil di pinggiran Jakarta membuat orang-orang hanya peduli pada apa yang bisa menghibur mereka. Tak peduli seberapa “sakit” atau seberapa “keji” atau seberapa “gila” hiburan itu. Soeharto sakit, artis pacaran, artis kawin, artis cerai, koruptor disidang, tukang gorengan bunuh diri karena harga tempe dan minyak tanah, Lumpur lapindo, gempa, longsor, dan banjir, orang-orang di barak, bandar narkoba ditangkap, atau orang gila hamil, sampai batas tertentu adalah hiburan yang dikemas sebagai berita. Industri media melihat dengan jeli kondisi ini sebagai celah peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Semua penderitaan dihibur dengan penderitaan yang lebih dramatis lagi. Itu realitas yang berlaku kini. Masyarakat dilanda epidemi masokis.

Alkisah beberapa bulan kemudian, tepatnya pada suatu pagi, tersiar kabar bahwa perempuan malang itu telah melahirkan. Tak banyak orang yang tahu kapan dan bagaimana persisnya proses persalinan itu. Hanya kabar bahwa dia dan bayinya selamat. “Perempuan gila itu melahirkan bayi perempuan.” Orang-orang terus menyiarkan kabar itu seakan infotainmen yang menyiarkan sebuah gosip. Tapi tak ada yang terlalu antusias untuk membahasnya. Semua perhatian masih tersedot pada sakitnya Soeharto, dan jelas si perempuan malang yang dicap gila itu tak mungkin bersaing dengan seorang Soeharto. Tapi pagi ini (24/1/2008), tiba-tiba jalanan dihebohkan oleh perempuan malang itu. Seorang pengendara motor nyaris terpelanting jatuh, sebuah mobil menginjak rem sampai mendecit, dan orang-orang berkerumun di pinggir jalan. Mereka semua tengah menyaksikan si perempuan malang bersama bayinya yang masih merah dalam gendongannya berguling-guling di jalan raya. Perempuan itu menangis histeris, menggoncangkan bayinya ke arah orang-orang dan bergerak liar tanpa peduli kendaraan yang melintas. Ia bahkan sengaja hendak menabrakkan diri dan bayinya pada kendaraan-kendaraan itu.

Orang-orang yang menyaksikan terpekur entah oleh apa. Sesuatu di benak mereka mungkin berusaha merumuskan reaksi apa yang seharusnya mereka ekspresikan, tapi sepertinya upaya itu gagal. Saya yang juga kebetulan melintas pada saat peristiwa itu berlangsung, juga tak tahu harus berbuat apa. Saya hanya terdiam beberapa menit dengan perasaan kacau balau. Si perempuan malang itu terus berteriak-teriak dan kemudian mulai berlari di tengah jalan raya. Bayinya tergoncang-goncang tanpa suara. Saya tidak tahu hidup atau matikah bayi itu. Orang-orang terus mematung meski perempuan malang itu semakin menjauh dari mereka. Saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan kacau-balau. Di benak saya, terbayang seorang tokoh komik ciptaan komikus Djair yang dijuluki “si gila dari muara bondet”. Tokoh yang dicap gila oleh orang-orang tapi sebenarnya adalah seorang pendekar pembela kebenaran yang sakti. Selama beberapa saat, saya berharap Si Gila dari Muara Bondet bukan sekadar tokoh komik, tapi tokoh nyata yang bisa menyelamatkan orang-orang bernasib sangat malang seperti perempuan itu. Sungguh, pagi itu, saya benar-benar merasa sedih. Kini saya ingin berbagi kesedihan pada anda semua, agar kita bisa menanggungnya bersama-sama dan kemudian bergerak bersama-sama untuk membuat hidup ini lebih baik seperti yang dilakukan Si Gila dari Muara Bondet. (frg)

Thursday, January 10, 2008

Ide Gila, Show off, atau Nurani?

juga dimuat di rubrik Sikap, 8 Januari 2008

Tiga orang pengelola radio komunitas dari Malang, Brebes, dan Gebang (perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah) terdampar di Jakarta pada saat perayaan malam tahun baru 2008. Lazimnya, “orang daerah” akan antusias merayakan tahun baru di Monas, Taman Impian Jaya Ancol, atau pusat-pusat keramaian lain di Jakarta. Tapi ketiga orang pengelola radio komunitas ini bukan orang yang lazim. Mereka tidak pergi melihat kembang api atau nonton konser musik pergantian tahun. Di tengah guyuran hujan deras yang sudah menenggelamkan beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan juga Sumatera Utara, ketiga orang ini memutuskan untuk melakukan “solidaritas” pada para korban bencana di berbagai daerah yang tidak bisa merayakan tahun baru. Mereka memutuskan untuk berjalan sejauh kaki melangkah. Rute awal adalah kawasan Senayan ke patung Pancoran. Maka berjalanlah mereka beberapa waktu sebelum lonceng tahun baru berbunyi. Mereka sepakat untuk hanya berbekal sebotol air mineral ukuran tanggung. Tidak makan dan tidak ngemil.

Dan di tengah guyuran hujan deras, ketiga orang itu memulai perjalanan mereka menuju patung Pancoran. Tidak jelas, rute mana yang mereka ambil, tapi yang jelas mereka baru tiba di patung Pancoran pukul tiga dini hari. Setidaknya 4-5 jam mereka berjalan terus menerus walaupun dalam keadaan basah kuyup. Lapar dan dingin menikam tubuh mereka di tengah keriuhan terompet tahun baru dan kemeriahan kembang api aneka warna. Dingin dan lapar yang sama pasti dirasakan juga oleh puluhan ribu orang di berbagai daerah yang dilanda banjir. Penderitaan yang dilakoni atau dijalani (sebenarnya agak kurang pas menerjemahkan kata jawa “dilakoni” dengan “dijalani”, tapi apa boleh buat, sulit mencari padanan lainnya) ketiga orang itu mungkin bisa kita cap sebagai “artifisial”. Mengada-ada. Aneh-aneh. Sok. Atau apa saja yang bisa memuaskan orang-orang yang ingin menuding atau hanya terbiasa memberi “cap”. Namun apa pun tudingan orang, sikap ketiga orang itu adalah sebuah pilihan sah. Mereka berhak melakukannya sebagai ekspresi kepedulian dan keprihatinan yang tulus atau bahkan sebagai sikap sok prihatin belaka.

Bagaimana kita menyikapi bencana setelah sekian puluh bencana besar terus-menerus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Masihkah kita memiliki kepedulian dan keprihatinan? Atau barangkali kita sudah imun atau kebal? Pertanyaan ini relevan untuk kita semua, terutama mereka yang selama ini selalu peduli pada penderitaan sesamanya. Tsunami Aceh kita tahu masih menyisakan begitu banyak permasalahan serius yang terkait dengan pertanyaan ini. Kuatnya indikasi korupsi, penyelewengan, manipulasi, penipuan, dan kolusi dalam penggunaan atau penyaluran dana bantuan yang mencapai trilyunan rupiah, sungguh memicu pertanyaan dasar tentang hati nurani serta harkat dan martabat kita sebagai manusia. Dalam situasi penuh penderitaan, mungkin memang diperlukan ide-ide gila untuk merayakan datangnya tahun baru. Kita memang harus optimis memandang masa depan, ini tak perlu diperdebatkan. Semua orang pasti sepakat tentang sikap dasar ini. Semua orang perlu menghibur diri dan melupakan segala penderitaan. Ini sangat bisa diperdebatkan. Terutama bila penderitaan itu tengah menghajar ratusan ribu atau jutaan orang persis di malam tahun baru.

Kita tetap bisa dan boleh merayakan tahun baru. Masalahnya adalah cara kita merayakannya. Kalau kita masih memiliki nurani, tentulah sangat tidak etis bila kita membeli home theater seharga 2 milyar rupiah hanya untuk mendengarkan gemuruh pembunuhan lain di layar home theater kita atau meriahnya tahun baru di berbagai negara. Seorang fotografer freelance kebetulan pernah memotret sebuah rumah dengan home theater seharga milyaran rupiah yang membuat saya berdecak tak habis mengerti. Bagaimana bisa orang tega membelinya sementara jutaan orang masih kelaparan di sekelilingnya? Ketika saya tanyakan kehebatan perangkat audio visual pada teman fotografer yang memotretnya, dia tak bisa menjelaskan apa. “Mungkin hanya telinga-telinga orang kaya saja yang bisa merasakan kehebatannya,” jelasnya.

Katakanlah orang kaya yang membeli home theater itu memiliki sebuah ide gila yang didasari oleh hasrat show off belaka dan sama sekali tidak memiliki nurani yang membuatnya berpikir tentang penderitaan yang terjadi di sekelilingnya. Sementara tiga orang pengelola radio komunitas yang merayakan tahun baru dengan ikut prihatin pada para korban bencana, memiliki ide gila yang justru berbasis pada nurani mereka. Ada perbedaan yang sangat mendasar di antara orang kaya dan para pengelola radio komunitas itu. Seharusnya kita bisa melihat dengan jernih perbedaan-perbedaan kecil namun prinsip yang ada pada orang-orang di sekitar kita. Tanpa bisa melihat dengan jernih kita hanya akan menjadi tukang tuding, tukang cap yang tak pernah berbuat apa-apa selain menuding dan memberi cap. Menjadi manusia tukang tuding akhirnya juga akan mengikis kepekaan dan kepedulian kita. Perlahan-lahan nurani kita pun akan pupus dan menghilang. Lalu jadilah kita manusia-manusia tanpa nurani yang tidak memiliki ide gila apa pun dan juga tidak mampu untuk show off apa pun. Ini adalah jenis manusia yang sungguh paling memprihatinkan. Apakah kita hanya akan menjadi manusia jenis itu di tahun 2008? Anda sendiri yang menentukan. Selamat tahun baru 2008. Semoga menjadi tahun yang baik bagi kita semua. (frg)