Tuesday, July 31, 2007

Sastra dan Gaya Hidup Remaja Perkotaan

catatan rabu pagi 41

Sastra bagi remaja perkotaan bukanlah sastra yang terwakili oleh para sastrawan dari generasi Putu Wijaya sampai Linda Christanty sekalipun. Sastra bagi remaja perkotaan juga bukanlah sastra koran, majalah sastra seperti Horison, maupun jurnal-jurnal kebudayaan yang memuat cerpen, puisi, dan esai-esai serius. Sastra remaja perkotaan adalah sastra pergaulan yang terekspresikan dalam medium-medium baru yang melekat pada gaya hidup mereka. Sastra remaja perkotaan saat ini adalah sesuatu yang sama sekali terlepas dari mata rantai sejarah sastra sebelumnya. Sejarah sastra yang saya maksud adalah sejarah sastra resmi versi para kritikus, teoritisi, akademisi dan para sastrawan sendiri. Sejarah sastra resmi ini sama halnya dengan sejarah pada umumnya yang berpihak pada kepentingan kekuasaan tertentu dengan muatan subjektivitas yang juga kental di dalam historiografi-nya. Dalam konteks remaja perkotaan secara riil, sebenarnya apa yang disebut mainstream sastra itu bahkan tidak eksis. Ada gap yang sangat jauh antara sastra dan kehidupan riil remaja perkotaan sekarang.

Medium-medium ekspresi kesusasteraan dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang kurang lebih merupakan sebuah dekonstruksi terhadap medium ekspresi sebelumnya yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Pretensi menulis sebuah karya sastra tidak lagi dilandasi oleh motivasi mimpi-mimpi besar, ide-ide pemberontakan, maupun pemikiran-pemikiran jenial untuk mengubah dunia. Remaja perkotaan sekarang cukup menulis di blog mereka tentang hal-hal personal keseharian yang remeh-temeh, mengirim sms romantis pada pacarnya, atau menciptakan syair lagu cinta yang juga sederhana saja. Itulah medium-medium ekspresi sastra remaja perkotaan sekarang. Di sisi lain para penulis generasi “tua” tetap asyik dengan mimpi-mimpi, keyakinan, arogansi, dan ide-ide besar untuk melahirkan sebuah magnum opus dalam “sejarah” kepenulisan mereka. Tanpa sadar, gap yang ada semakin curam dan dalam, mengingatkan kita pada kritik-kritik berpuluh tahun silam tentang ivory tower-nya para sastrawan dan seniman secara keseluruhan.

Tentu masalahnya memang tak bisa dilepaskan dari “nilai-nilai, kriteria, teori-teori” tentang apa yang disebut dan dianggap sebagai “sastra”. Hal ini pun adalah persoalan lama yang terus menggantung tanpa penyelesaian. Bagi sejumlah sastrawan, sebut misalnya Seno Gumira Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, atau Budi Darma, apa yang disebut dan dianggap sebagai “kriteria dan nilai-nilai” sastra adalah relatif dan subjektif. Pandangan ini memberi ruang kebebasan yang luas untuk menganggap dan menyebut apa itu karya sastra. Di lain pihak, masih banyak sastrawan dan kritikus yang berpegang pada teori-teori baku yang entah apa atau entah yang mana untuk mengategorisasikan sebuah karya sebagai “sastra”. Pandangan inilah yang kemudian mungkin membuat buku-buku semacam ensiklopedi sastra Indonesia tidak pernah lengkap dan utuh. Di buku-buku itu pastilah tidak pernah ada nama Agni Amorita Dewi misalnya, penulis cerpen remaja generasi tahun 80-an yang kerap mengisi lembar cerpen di berbagai majalah remaja dan pernah pula menjadi pemenang lomba cerber Femina. Di buku-buku itu pastilah tidak akan ada nama Raditya Dika atau Aditya Mulya, dua novelis muda masa kini yang penggemarnya menyebar di kalangan remaja perkotaan seluruh Indonesia. Dan di buku-buku itu juga tidak pernah ada nama FX Rudy Gunawan, penulis cerpen, esai, dan novel yang karya-karyanya juga kerap dimuat di sastra koran (non-Kompas) dan puluhan bukunya telah diterbitkan.

Ini adalah sebuah stagnansi yang ironis. Generasi remaja sekarang merasa tidak ada perlunya membaca karya sastra adiluhung yang tidak connect dengan kehidupan riil mereka. Telah terjadi sebuah perubahan paradigma yang tidak pernah diantisipasi oleh para sastrawan. Program sastra masuk sekolah mungkin merupakan sebuah upaya yang pernah dilakukan untuk menjembatani gap atau mencairkan stagnansi ini. Tapi karena frame yang dibawa adalah “mindset lama” dan yang dilakukan dengan “cara lama” pula, maka bisa dikatakan upaya ini kurang membuahkan hasil. Sejumlah SMA yang didatangi mungkin jadi lebih mengenal sastrawan-sastrawan dan karya-karyanya, tapi hanya sebatas itulah hasilnya. Padahal yang dibutuhkan sekarang adalah menciptakan generasi baru pecinta sastra dan menumbuhkan iklim atau atmosfir yang subur bagi lahirnya generasi penulis sastra yang baru, segar, dan sama sekali berbeda.

Dalam gaya hidup remaja perkotaan sekarang, film dan musiklah yang paling populer sebagai bagian dari kehidupan kesenian dan kebudayaan mereka. Ini terbukti dari suksesnya novel-novel adaptasi film yang digagas dan diterbitkan oleh penerbit spesialis novel remaja, GagasMedia. Hampir semua novel adaptasi film-film nasional terjual puluhan ribu kopi dalam hitungan bulan saja. Genre novel ini telah berhasil menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan berkat kolaborasi antara dunia film dan dunia sastra. Kolaborasi berarti sebuah persinggungan yang nyata dengan kehidupan. Kolaborasi menjadi sebuah pola untuk mencairkan stagnansi dan melahirkan karya yang “membumi”. Sebuah contoh kolaborasi ideal dari dunia musik adalah grup rock gaek Santana yang berkolaborasi dengan penyanyi remaja popular dalam tiga album terakhir mereka yang dirilis beberapa tahun belakangan. Kesadaran Santana sebagai grup yang melegenda untuk tetap tune in dengan perkembangan zaman sungguh sebuah kerendahan hati yang patut diteladani di dunia sastra kita.

Sastra seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup remaja perkotaan karena sastra seharusnya menjadi bagian dari kehidupan nyata termasuk kehidupan sehari-hari dengan segala tetek-bengek persoalannya yang mungkin cengeng, menyebalkan, dan tidak mutu. Tapi atas dasar apa seseorang berhak men-judge seperti itu terhadap kenyataan hidup yang nyata? Atas dasar apa seseorang atau sejumlah orang berhak menghakimi sebuah karya? Tiada satu dasar pun yang bisa membenarkan sikap-sikap seperti itu. Sebaliknya, justru pengikisan terhadap sikap-sikap seperti inilah yang akan mampu mengintegrasikan sastra dalam gaya hidup remaja perkotaan. (frg)

Monday, July 23, 2007

Kompor Mleduk

catatan rabu pagi 40

Pernah dengar lagu “Kompor Mleduk” ciptaan seniman serba bisa, almarhum Benyamin Sueb? Lagu itu sungguh berhasil menangkap persoalan keseharian dengan jeli. Syairnya jenaka dan sangat mengena dengan kehidupan rakyat kecil di Jakarta (dan kota-kota besar lainnya). Dan persoalan kompor ternyata tetap relevan hingga kini, bahkan kembali menjadi topik hangat di warung-warung kopi, warung-warung tegal, warung-warung sunda, dan warung-warung tempat nongkrong rakyat kecil lainnya. Masalahnya adalah kebijakan pemerintah DKI untuk mengganti minyak tanah yang digunakan rakyat kecil dengan gas elpiji.

Ini sebuah persoalan serius karena menyangkut hajat hidup orang banyak di seantero pelosok Jakarta. Minyak tanah dan kompornya menjadi bahan bakar pilihan rakyat kecil karena fleksibilitasnya untuk diakses. Orang bisa membeli hanya setengah liter dan mengepulkan asap dapurnya hanya dengan setengah liter minyak tanah. Sementara gas elpiji, meskipun tabungnya diberikan gratis dan berukuran kecil, tetap saja tidak mungkin dibeli eceran. Orang tak bisa membeli setengah tabung gas saja ketika benar-benar bokek! Akibatnya? Asap dapur tak akan bisa ngebul dan sejumlah perut akan keroncongan. Amat, seorang Betawi penggemar Benyamin Sueb, melontarkan argumen ini dengan berapi-api karena ia tak bisa paham mengapa pemerintah DKI mengambil keputusan penggantian itu.

Kemarahan Amat jelas sufficient reason. Cukup alasan. Kompor minyak tanah baginya adalah pilihan ideal bagi rakyat kecil yang harus berjuang untuk bisa survive di ibukota yang kejam. Bahwa rakyat Indonesia di akar rumput sudah sangat teruji daya tahan atau resistensinya menghadapi kejamnya kemiskinan, bencana banjir, dan segala bentuk deraan derita, ini soal lain. Ini juga jelas tidak bisa menjadi pembenaran untuk semakin mengeksploitasi dan menindas mereka atau melakukan pembiaran terhadap kemiskinan. Minyak tanah mungkin dianggap sebagai simbol kemiskinan, tapi menggantinya dengan gas elpiji tanpa solusi riil untuk peningkatan kesejahteraan mereka adalah konyol.

Kebijakan-kebijakan yang bersifat parsial memang seakan sudah menjadi ciri pemerintah kita. Pendekatan legal-formal untuk mengatasi persoalan di dunia nyata seakan menjadi solusi termudah yang selalu diambil. Padahal jelas, yurisprudensi hanyalah perangkat normatif yang harus dibarengi oleh tindakan-tindakan kongkrit untuk penyelesaian masalah. Belum lagi berbagai kepentingan politik dari segala macam kelompok yang pasti akan ikut bermain untuk menggolkan berbagai rancangan undang-undang sesuai kepentingan mereka. Situasi yang tercipta dari pendekatan semacam ini untuk menyelesaikan berbagai masalah, adalah ibarat kompor yang bisa “mleduk” setiap saat dan mengakibatkan kebakaran besar. Akibatnya pasti kembali pada rakyat kecil.

Mungkin tanpa sadar kita sudah mengamini asumsi “rakyat selalu menjadi korban” sebagai kebenaran. Sungguh menyedihkan. Asumsi ini jelas salah karena tak seorang pun, terutama yang tak bersalah, pantas menjadi korban. Apalagi dikorbankan! Sejarah sudah membuktikan dan mengajarkan banyak hal tentang rakyat yang seharusnya mendapatkan semua hak-haknya yang paling asasi, tapi mengapa sepertinya otak kita begitu bebal? Mengapa “mengorbankan rakyat” terus saja menjadi cerita dan berita dalam kehidupan kita sejak Orde Baru sampai Orde Pasca Reformasi kini? Anda punya jawaban jitu untuk pertanyaan-pertanyaan di atas? Kalau punya, cobalah masak sampai matang di atas kompor minyak tanah agar benar-benar beraroma rakyat kecil. Agar satu kompor minyak tanah terselamatkan dan satu keluarga miskin di Jakarta bisa melanjutkan hidup, setidaknya satu hari lagi. (frg)