Sunday, June 24, 2007

Kebebasan

Rubrik Sikap, VHR News Center, 3 Mei 2007

Mei adalah bulan penuh perayaan. Kita memperingati Hari Buruh Sedunia 1 Mei, 2 Mei peringatan Hari Pendidikan Nasional, 3 Mei memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, 8 Mei ada peringatan Hari Palang Merah Internasional, lalu 20 Mei kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Bila dikaji lebih dalam, semua hari besar nan penting yang kita peringati di bulan Mei terkait dengan satu tema besar perjuangan hidup manusia, yakni "kebebasan".

Buruh berjuang sepanjang sejarah untuk mendapatkan hak-hak dasar yang melekat pada diri mereka sebagai pekerja. Tujuannya jelas, membebaskan diri dari penindasan para pemilik modal, membebaskan diri dari kemiskinan, dan membebaskan diri dari belenggu perbudakan modern. Perjuangan buruh adalah perjuangan untuk kebebasan diri sebagai manusia seutuhnya dengan harkat dan martabat yang sama serta kesejahteraan yang layak.

Hari Pendidikan Nasional juga merupakan monumen peringatan untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Melalui pendidikan, manusia diberdayakan untuk memaksimalkan seluruh potensi diri agar menjadi manusia yang berguna dan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakatnya. Dengan potensinya yang maksimal, setiap orang akan mempunyai kebebasan untuk memilih bidang-bidang pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan dirinya. Pendidikan yang baik dan bermutu adalah sarana untuk mencapai kebebasan memilih. Pendidikan juga merupakan hak dasar yang harus dijamin pemerintah bagi seluruh rakyat.

Hak lain yang juga seharusnya dijamin oleh pemerintah adalah kebebasan untuk memperoleh informasi yang sekaligus terkait dengan kebebasan pers sebagai sumber utama berbagai informasi. Hari Kebebasan Pers Sedunia yang dirayakan setiap 3 Mei adalah upaya untuk terus memperjuangkan kebebasan pers di seantero jagat raya. Tujuan perayaan Hari Kebebasan Pers yang dicanangkan PBB sejak 1993 ini adalah meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers bagi masyarakat dan negara, serta untuk mengingatkan pemerintah (negara mana pun) akan tugas mereka untuk menghormati dan menjaga kebebasan pers. Kebebasan pers adalah bagian dari kebebasan untuk berekspresi yang merupakan hak asasi manusia dan tercantum dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights.

Kebebasan pers di Indonesia saat ini, harus diakui, telah mengalami banyak kemajuan terbilang sejak runtuhnya rezim Soeharto. Kasus terbaru yang menyangkut kebebasan pers adalah kasus majalah Play Boy Indonesia, dan kasus ini pun dimenangi pihak Play Boy. Suatu pencapaian yang sungguh menggembirakan dan membuktikan adanya kemajuan dalam kebebasan pers di Indonesia. Front Pembela Islam (FPI) sebagai pihak penggugat mungkin tak akan menerima kekalahan mereka begitu saja. Namun itu soal lain, yang takkan mengubah kenyataan kebebasan pers di Indonesia telah melangkah maju ke tahap yang lebih baik. Dan bahwa kebebasan pers tak bisa dikekang oleh kelompok masyarakat tertentu, baik yang mengatasnamakan agama maupun kelompok masyarakat lainnya.

Ukuran kebebasan pers berbeda-beda di setiap negara, karena disesuaikan dengan konteks nilai-nilai lokal yang berlaku. Play Boy Indonesia jelas berbeda dari versi Amerika. Jadi, wajar bila pengadilan pun memenangkan Play Boy. Lain halnya bila versi Indonesia sama persis dengan Play Boy Amerika, sangat mungkin pengadilan tidak akan memenangkan majalah itu. Dan, pada dasarnya, mempertentangkan nilai-nilai satu agama dengan hak asasi, dalam hal ini hak kebebasan pers, adalah sesuatu yang tak bisa dilakukan secara naif atau harfiah.

Kebebasan pers adalah salah satu tonggak demokrasi. Dan, demokrasi berarti juga pluralisme, sebagaimana kenyataan adanya perbedaan warna kulit, perbedaan suku, perbedaaan agama, perbedaan ideologi, dan perbedaan-perbedaan lain yang terhampar di depan mata kita. Semua mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Bila ada kelompok mencoba menindas, meniadakan, mendominasi, memonopoli, menjajah, atau menguasai kelompok lain, itu adalah pelanggaran hak asasi. Sesederhana itulah duduk perkaranya. Sebab, setiap orang pada hakikatnya memiliki kebebasan yang sama. Selamat merayakan Hari Kebebasan Pers Sedunia. (*)

Face Off

Rubrik Sikap, VHR News Center, 10 Mei 2007

Nicholas Cage dan John Travolta dalam film Face Off garapan John Woo berperan sebagai gembong penjahat dan polisi yang sama-sama tangguh. Dalam satu duel maut, keduanya sama-sama terkapar dan dirawat di rumah sakit yang sama. Castor Troy, sang gembong penjahat, berhasil memaksa dokter untuk menukar wajahnya dengan wajah Sean Archer, sang polisi tangguh. Troy lolos dari maut dan disambut oleh rekan-rekan Archer sebagai Archer, sang polisi. Ia kini menjadi seorang penjahat berwajah polisi. Adapun Archer asli yang berwajah Troy akhirnya juga tersadar dan shock mendapati dirinya sebagai Troy. Sebagai musuh bebuyutan, keduanya mengenal dengan baik seluk-beluk kehidupan masing-masing. Tentu saja sangat mengerikan bagi seorang polisi bersih seperti Archer ketika menyadari dirinya berwajah penjahat.

Ide cerita film ini sangat realistis dan sederhana, tapi sekaligus jenial. Dalam kehidupan nyata, polisi kotor (dirty cop) ada di mana-mana. Mereka tak ubahnya penjahat meski berwajah penegak hukum dan pelindung masyarakat. Mereka melakukan pemerasan, penipuan, perampokan, dan bahkan mungkin juga pembunuhan. Sebaliknya, polisi berwajah penjahat boleh dibilang hampir tidak ada dalam kehidupan nyata, kecuali dalam tugas-tugas undercover atau penyamaran yang mengharuskan seorang polisi masuk ke dunia para penjahat dengan berpura-pura menjadi bagian dari mereka. Penegak hukum atau pelindung masyarakat berwajah penjahat mungkin hanya tinggal dongeng masa lalu seperti Robin Hood atau The Seven Samurai. Tapi mereka pun bukan polisi. Mereka hanya warga sipil yang berjuang untuk menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat miskin secara langsung, berani, dan frontal.

Secara akal sehat, takkan ada seorang polisi idealis dan tangguh seperti Sean Archer dalam Face Off yang mau berwajah penjahat. Setiap polisi baik pasti akan berupaya keras membangun citra polisi baik yang ramah, siap melayani, tulus, dekat dengan masyarakat, dan selalu siap memberantas kejahatan apa pun. Pencitraan ini sangat penting untuk diperjuangkan oleh setiap polisi baik untuk melawan pencemaran dan pencorengan citra polisi oleh polisi-polisi jahat atau dirty cop seperti Castor Troy yang berwajah Sean Archer. Pencitraan menjadi sangat penting karena dari pencitraanlah kemudian seluruh aspek kehidupan seseorang atau sebuah lembaga, termasuk lembaga seperti Voice of Human Rights, ditentukan. Pencitraan yang salah akan menciptakan persepsi dan image yang melenceng dari substansi seseorang atau sebuah lembaga. Karena itulah membangun image kemudian menjadi persoalan besar bagi pencapaian tujuan atau idealisme apa pun. Image yang salah akan menimbulkan persoalan dan dampak yang juga substansial.

Image atau citra hak asasi manusia di Indonesia, celakanya juga telah terbentuk (dan dibentuk) secara "agak" keliru. Apa yang muncul secara spontan di benak masyarakat awam saat mendengar kata hak asasi atau human rights, umumnya adalah sebuah ketegangan antara pemerintah dan rakyat: entah berupa unjuk rasa di Istana Negara; bentrokan tentara dengan rakyat di daerah konflik seperti Poso, Ambon, Aceh, atau Papua; penggusuran lapak-lapak kaki lima di pasar tradisional; penculikan para aktivis; penderitaan petani atau buruh akibat kesewenang-wenangan para pejabat; dan peristiwa semacamnya. Secara parsial, image semacam itu tentu juga memiliki kebenaran, karena persoalan hak asasi memang selalu melibatkan hubungan negara sebagai duty bearer dan rakyat sebagai claim holder. Tapi hubungan ini hanya salah satu bagian dari "wajah" hak asasi, dan bisa menimbulkan masalah serius bila kemudian dianggap sebagai keseluruhan "wajah" hak asasi.

Untuk mencegah dampak lebih serius kesalahkaprahan persepsi dari image yang keliru itu perlu dilakukan upaya-upaya serius membangun image yang lebih tepat dan benar. Pertama, tentu kita harus kembali pada dimensi-dimensi elementer yang tidak dipahami masyarakat awam karena kesalahkaprahan yang terjadi. Dimensi elementer dari hak asasi manusia yang tidak muncul dalam pencitraannya di Indonesia, antara lain dimensi hak asasi dalam kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya melekat pada hampir semua aspek kehidupan setiap orang. Sebut misalnya soal toleransi. Sikap toleran adalah perwujudan dari penghargaan pada perbedaan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Artinya, toleransi adalah penerapan langsung hak asasi dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapan langsung lainnya yang juga melekat pada kehidupan sehari-hari adalah solidaritas. Seorang wartawan, Bambang Putranto, melihat indikasi penurunan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2007 dibandingkan misalnya dengan solidaritas dalam bencana banjir tahun 2002. Penurunan solidaritas ini berbahaya dan perlu dicegah, karena akan memunculkan sikap tidak peduli yang parah. Penurunan solidaritas juga merupakan indikasi serius dari penghargaan pada hak asasi manusia, karena solidaritas adalah bukti pemahaman dan pewujudan hak asasi. Selain toleransi dan solidaritas yang menjadi dimensi elementer hak asasi manusia, kita juga bisa menambahkan sikap antidiskriminasi, sikap antikekerasan, cinta damai, cinta lingkungan, dan kebersamaan atau persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi inilah yang seharusnya menjadi bagian penting dari citra hak asasi manusia.

Dengan citra yang tepat dan benar, kepedulian masyarakat pada persoalan-persoalan hak asasi manusia akan lebih mudah dibangun dan ditingkatkan terus-menerus. Dalam konteks inilah lembaga seperti VHR dan lembaga-lembaga seperjuangan lainnya perlu berjuang untuk mengubah pencitraan yang "agak" keliru selama ini. VHR akan memulai perjuangan ini dengan mengubah dan membenahi diri dalam waktu dekat, baik konsep konten maupun tampilan. Nantikan "wajah" baru VHR, dan mari bersama-sama menegakkan hak asasi dalam kehidupan sehari-hari kita. (*)

Wednesday, June 20, 2007

Haru

catatan rabu pagi 37


Satu perasaan penting yang agak tersisih dari kehidupan manusia modern adalah rasa haru. Mengapa? Sebab rasa haru tidak mudah dimanipulasi seperti halnya rasa sedih atau gembira yang banyak dieksploitasi di sinetron-sinetron secara norak, kampungan, dan over-dramatik. Rasa haru sulit dimanipulasi karena perasaan ini menuntut ketulusan dan empati pada seseorang dalam satu peristiwa yang tidak terkait langsung dengan si pemilik perasaan. Sementara rasa sedih dan/atau gembira nyaris selalu terfokus dan menyangkut langsung sesuatu dalam diri si pemilik perasaan. Kita gembira ketika berhasil mendapatkan kenaikan pangkat, jabatan, harta berlimpah, mempersunting gadis idaman, atau menjadi terkenal misalnya. Dan kita sedih ketika gagal mendapatkan sesuatu atau kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup kita.

Haru memang jenis perasaaan yang subtil. Saat ini dan berjuta-juta saat sebelum kini, seharusnya kita dikepung oleh rasa haru. Diharu biru oleh begitu banyak peristiwa yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Rasa haru adalah tanda kepedulian seseorang terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Tersisih atau bahkan hilangnya rasa haru berarti tersisih atau hilangnya kepedulian. Untunglah, sekitar seminggu lalu saya masih menemukan seonggok haru di relung hati. Rasa itu menyeruak keluar dari keremangan dan balutan sarang laba-laba yang memenuhi relung hati saya. Ya, saya terharu oleh teman-teman Teater Meldict (Melihat dengan Ilmu dan Cinta) yang semuanya tuna netra atau “tidak awas”, saat tampil membawakan lakon berjudul “Eksekutif Modar” di Goethe Institut (13/6/07) dalam rangkaian acara “Menyimak Cerita, Memihak Kemanusiaan”.

Pementasan singkat Teater Meldict sendiri sangatlah menghibur. Semua pemain tampil total sebagai konglomerat-konglomerat dari berbagai bidang industri, dan para penonton –baik yang tunanetra maupun yang bermata awas—juga berulang kali terpingkal-pingkal. Dan di sela-sela derai tawa itulah rasa haru tiba-tiba menyeruak dan menohok hati dengan telak. Jumlah penonton yang tidak sampai seratusan orang –setengahnya adalah tuna netra—membuat tawa terasa merambat pelan dari satu pojok ke pojok lain. Sebagai salah satu penonton bermata awas, saya mendadak merasakan sebuah ironi menyusup di antara derai tawa para penonton. Tidakkah seharusnya orang-orang bermata awas seperti saya yang menghibur mereka-mereka yang “tidak awas”? Pernahkah pertanyaan ini tebersit sekali saja di hati dan pikiran kita sebelumnya?

Haru juga menohok hati saya ketika sejumlah orang tiba-tiba tergugah oleh keceriaan, semangat, dan ketulusan teman-teman tunanetra dalam menyikapi dan menerima kenyataan hidup mereka. Rina, seorang penyanyi “tidak awas” dari grup band difabel “Diferensia” yang tampil memukau dan sangat ceria membawakan lagu "Sir Duke"-nya Stevie Wonder juga menjadi salah seorang pemicu ketergugahan sejumlah orang bermata “awas” yang menonton penampilannya. Aktor kawakan Didi Petet adalah salah seorang yang tergugah secara spontan menyaksikan kiprah teman-teman tunanetra mengekspresikan diri mereka secara bebas melalui media kesenian dan sekaligus membuktikan bahwa mereka mampu. Didi Petet juga terhenyak oleh haru. Oleh kesadaran yang bangkit sebagai zombie dan langsung meneror hati kita. Ke mana saja mata kita yang “awas” selama ini?

Acara Menyimak Cerita Memihak Kemanusiaan, yang merupakan hasil kolaborasi Yayasan Mitra Netra, Voice of Human Rights News Center, Swiss Embassy, Goethe Institut, dan Perkumpulan Seni Indonesia, memang bukan acara heboh yang diberitakan besar-besaran oleh media massa, tapi secara nyata, acara ini mampu menumbuhkan dan menghidupkan rasa haru semua orang yang terlibat atau menyaksikannya. Saya bahkan semakin terharu menerima telepon dari pianis tunanetra, Yussak, sehari seusai acara. Yussak tidak bicara banyak di telepon, ia hanya mengatakan terima kasih dan rasa bahagianya bisa menjadi bagian dari acara itu. (frg)