Wednesday, March 28, 2007

550 Thukul

catatan rabu pagi 35

Salah satu dampak demam Thukul Arwana yang popular dengan kalimat “kembali ke laptop” dalam acara talkshow-nya, adalah demam laptop di kalangan anggota DPR. Tentu kita tak bisa menyalahkan Thukul yang sudah sangat berjasa besar menghibur rakyat (satu hal yang nyaris tak pernah dipikirkan dan dilakukan oleh para wakil rakyat kita di DPR/DPRD) yang selalu diserbu dan dihujani penderitaan. Demam laptop para anggota DPR sama sekali berbeda dengan kalimat “kembali ke laptop”-nya Thukul. Entah karena tak mau kalah oleh Thukul atau dipicu hal lain, para wakil rakyat –meski penjelasan resmi mengatakan anggaran sudah disetujui dan masuk APBN tahun lalu—tak peduli masyarakat mencibir, kecewa, sedih, atau marah sekalipun. Sebagian anggota yang tak mau menerima laptop pun sudah menegaskan sikapnya pada para wartawan, sayangnya hanya segelintir anggota saja yang emoh. Lainnya, kira-kira bersikap “tak boleh dong menolak rejeki, pamali!”

Laptop yang diminta pun tak tanggung-tanggung. Harganya 21 juta sekian rupiah. Harga yang sungguh ajaib dan pasti membuat para pedagang laptop berlomba saling baku-hantam untuk memenangkan tender senilai belasan milyar itu. Harga ini jelas keterlaluan karena dengan sepuluh juta saja, saat ini kita bisa mendapatkan laptop canggih sesuai spesifikasi yang diinginkan para anggota DPR. Dan bicara tentang spesifikasi, terus terang agak membingungkan juga mencari spec yang pas untuk para wakil rakyat yang terhormat itu. Masalahnya, hampir semua aktivitas pekerjaan mereka sebenarnya bahkan tak membutuhkan laptop. Mereka bukan pengarang, bukan ilustrator, bukan desainer, bukan wartawan yang harus menenteng laptop ke mana-mana. Pekerjaan mereka adalah memikirkan perbaikan nasib rakyat yang mereka wakili dan memperjuangkannya habis-habisan. Itu saja. Syukur kalau bisa menghibur rakyat seperti yang dilakukan Thukul Arwana.

Jika mereka mau kembali ke laptop, eh maaf, kembali ke pekerjaan utama mereka, yang diperlukan adalah integritas, ketulusan, keberanian, dan kredibilitas yang harus terus dijaga. Semua kebutuhan itu tak bisa didapatkan dari sebuah laptop. Tak ada program atau software-nya. Secanggih apa pun sebuah laptop, bagi para anggota DPR yang belum tentu bisa memakainya, benda itu tetaplah alat kerja yang kurang relevan dengan tugas dan kebutuhan mereka. Apa yang ada di kepala mereka sebenarnya ketika mengajukan anggaran untuk sebuah laptop? Seharusnya dengan gaji mereka yang puluhan kali lebih tinggi dari gaji seorang wartawan, mereka bisa membeli laptop sendiri kalau merasa memerlukannya sebagai alat kerja. Apakah ada Thukul di kepala mereka saat itu? Apakah mereka bermaksud melawak seperti Thukul dengan menyetujui permohonan anggaran laptop itu? Mungkin. Ya, mungkin saja seperti itu, karena di dunia para wakil rakyat yang terhormat itu, hal yang paling tidak masuk akal pun kerap terjadi.

Satu hal yang pasti benar dan penting untuk mereka lakukan sebagai wakil rakyat adalah belajar lebih serius pada Thukul Arwana sebelum mengatakan “kembali ke laptop” dalam sidang-sidang serius yang membahas nasib rakyat. Jika tidak, mungkin lebih baik duit untuk membeli laptop digunakan saja untuk meng-kloning 550 Thukul yang siap menggantikan mereka sebagai anggota DPR/DPRD. Dijamin rakyat lebih bahagia dan tertawa setiap saat dalam penderitaan mereka. Untunglah, akhirnya, kemarin (27/3/07) Ketua DPR, Agung Laksono, mengumumkan pembatalan pembelian laptop untuk para anggota DPR sementara sejumlah DPRD tetap mengeksekusi pembelian laptop. Lalu bagaimana dengan alokasi dana 12 milyaran perak yang sudah cair? Saya rasa, usulan saya untuk mengkloning 550 Thukul Arwana, bisa dibahas di rapat paripurna DPR sesegera mungkin! (frg)

Monday, March 19, 2007

Nyepi

catatan rabu pagi 34

Mari menepi sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan yang tak pernah memberimu ruang untuk keheningan.

Mari menepi sejenak dari hingar-bingar dunia yang memenuhimu dengan kekosongan jiwa.

Mari menepi sesaat dari raung mesin-mesin yang menggilasmu jadi kepingan-kepingan logam dingin.

Mari menepi sekejap saja dari lenguh dan desah birahi yang memacu hasratmu menuju kehampaan belaka.

Mari menepi dari kebisingan panggung kekuasaan yang hanya menjerumuskanmu dalam arus liar sungai darah.

Mari menepi sajalah dari benda-benda yang membiusmu dengan kenikmatan semu. Tinggalkan saja semua omong kosong para penipu yang menjebakmu dalam mimpi-mimpi tanpa makna.

Mari menepi sekejap dari frekuensi satelit yang mengepung dan memasungmu dalam kotak televisi.

Mari menepi segera dari keserakahan yang menggerogoti tubuhmu sekerat demi sekerat. Mari menepi, walau hanya sejenak, dari permainan-permainan keangkuhan hati yang membodohimu atas nama cinta.

Mari menepi untuk diam di tepian jiwa kita yang belum terjamah polusi duniawi, sedetik saja.

Barangkali, hanya dengan menepi barang sekejap, kita akan menemukan kembali sesuatu yang telah lama hilang dari hati dan jiwa kita.

Barangkali, hanya dengan sesaat saja menepi, kau akan tahu betapa indahnya sepi. Betapa pentingnya diam dan hening dalam hidupmu yang selalu bising oleh kegelisahan dan ketidakpuasan. (frg)

Wednesday, March 14, 2007

Grand Design Dunia Penyiaran Indonesia

catatan rabu pagi 33

Paradigma komunikasi untuk membangun kebersamaan dikenal sebagai “humanistic values paradigm”, yang menekankan bahwa pada dasarnya tujuan hidup semua manusia itu sama, walau memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan ini sebenarnya hanyalah perbedaan “bahasa” saja, dan karenanya sangat bisa diselesaikan dengan komunikasi untuk menyamakan “bahasa”. Bukankah pada dasarnya setiap manusia memang selalu menginginkan kualitas hidup yang baik yang penuh dengan kedamaian, kesamaan di bidang sosial-ekonomi, dan kemerdekaan serta otonomi individu?

Melalui komunikasi, melalui media massa, melalui KPI, kesamaan tujuan hidup ini bisa diperjuangkan bersama-sama sehingga perbedaan tidak lagi menjadi sesuatu yang mengakibatkan terjadinya konflik dan perpecahan. KPI dan media massa bersama-sama harus membangun pemahaman akan indahnya perbedaan demi kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia

Berikut beberapa catatan saya tentang “grand design dunia penyiaran Indonesia”

1. Yang saya maksud dengan grand design dunia penyiaran Indonesia adalah sebuah konsep komprehensif yang menjadi tujuan bersama dari seluruh stake holder dunia penyiaran, mulai dari pelaku industri penyiaran, penyiaran publik, penyiaran komunitas, KPI, pemerintah, dan masyarakat. Di dalamnya ada desain struktur dunia penyiaran secara utuh, pola hubungan antara seluruh stake holder (berdasar peran, kewenangan, dan tanggung jawab), mekanisme kerja bersama antara seluruh pelaku dan bentuk koordinasinya, orientasi produk ideal (bukan sekadar pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran), pola kepemilikan media, dan kode etik untuk pelaku industri penyiaran non-jurnalis. Regulasi dunia penyiaran yang bisa dijadikan acuan model adalah regulasi penyiaran “demokratis-partisipatif” yang salah satu substansinya memandang radio dan televisi sebagai agen perubahan sosial, pengembangan kebudayaan, dan pembangunan bangsa.

2. Untuk mampu menjadikan dunia penyiaran sebagai agen perubahan sosial, pengembangan kebudayaan, dan pembangunan bangsa, harus ada regulation of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas agar tercipta dunia penyiaran yang sehat dan hubungan yang seimbang dan dinamis antara pengelola penyiaran, pemerintah, KPI, dan audiens.

3. Yang saya maksud sebagai watchdog media penyiaran adalah termasuk menjaga dan mengembalikan fungsi sosial media penyiaran publik sebagai: social surveillance dalam penyebaran informasi yang dilakukan dan socialization dalam upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa dari satu generasi ke generasi lainnya.

4. Mutu sinetron yang memprihatinkan dan perilaku para produser yang menghalalkan penjiplakan sinetron asing secara keterlaluan menjadi persoalan serius dalam industri penyiaran. Keadaan ini harus diatasi sesegera mungkin dengan program-program peningkatan kualitas sinetron yang kongkrit sebagai bagian dari grand design dunia penyiaran Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada tayangan-tayangan lain seperti berita kriminal yang cenderung mengekspos kekerasan secara berlebihan dan ditayangkan pada jam-jam anak-anak menonton tv, dan tayangan bermuatan mistik yang berlebihan dan menanamkan tahayul pada pola pikir anak dan remaja. Kita harus memunculkan kembali sinetron keluarga yang bermutu dan bernuansa budaya lokal seperti “Keluarga Cemara”, atau memperbanyak sinetron komedi situasi yang membumi dan cerdas seperti “Bajaj Bajuri”.

5. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang telah ada hanya mengatur apa yang boleh apa yang tidak dalam penyiaran dan dalam produk tayangan. Menurut saya yang lebih perlu adalah pembuatan pedoman standar mutu sebuah tayangan yang memberikan orientasi, wacana, dan pedoman praktis/petunjuk teknis untuk menghasilkan tayangan yang bermutu. Pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang ada juga harus terbuka untuk ditinjau ulang dengan melibatkan masukan dari masyarakat luas. Saat ini, menurut Muhamad Mufid dalam buku “Komunikasi dan Regulasi Penyiaran”, setidaknya masih ada sejumlah pasal krusial dalam pedoman tersebut, seperti pasal 24 (larangan menyiarkan langsung penjarahan serta tindakan merusak oleh massa), pasal 44 (larangan menyiarkan adegan tarian dan atau lirik yang sensual, menonjolkan seks, membangkitkan hasrat, atau memberi kesan hubungan seks), dan pasal 57 ayat 1 (aturan jam tayang program gaib).

6. UU no 32 tahun 2002 yang merupakan produk hukum dari begitu banyak kompromi (politik) memang menimbulkan banyak kendala atau kesulitan dalam pelaksanaannya. Pembagian kewenangan untuk pemberian ijin frekuensi penyiaran antara pemerintah dan KPI jelas memunculkan konflik berkepanjangan antara KPI dan pemerintah.

7. Saya mengatakan KPI juga harus menjadi dinamisator dunia penyiaran berdasarkan logika ruang publik (public sphere) dalam pemikiran Jurgen Habermas, yang berpendapat bahwa faktor struktural yang penting bagi kelahiran pengelolaan penyiaran yang demokratis adalah adanya badan regulator (KPI dalam konteks kita) yang powerfull dalam sistem penyiaran yang ada. Pengelolaan penyiaran demokratis harus dapat menyeimbangkan penguasaan besar-besaran kalangan bisnis dan kepentingan publik untuk mendapat informasi yang sehat, menghibur, dan bermutu dalam wilayah komunikasi publik.

8. Terkait dengan ruang publik dan grand design penyiaran, persoalan mendasar yang muncul kemudian adalah bagaimana membuat struktur sistem media yang kondusif bagi keragaman opini (diversity of opinion), keberagaman konten (diversity of contents), yang juga kondusif bagi terciptanya iklim kebebasan berbicara (freedom of speech) dan kebebasan untuk melakukan jurnalisme penyiaran. Jadi, tegasnya, harus ada kebijakan yang jelas untuk menciptakan kondisi di atas.

Saudara-Saudara (cie … kayak pejabat ya?), dengan demikian selesailah sudah seri Catatan Rabu Pagi bertema “calon anggota KPI yang gagal fit and proper test ini”. Terimakasih atas waktu dan kesediaan Saudara-Saudara untuk membacanya. Semoga bermanfaat. (frg)

Tuesday, March 06, 2007

Relasi KPI, Kuasa, dan Modal

catatan rabu pagi 32

Catatan Rabu Pagi pekan ini, seperti yang saya sampaikan pekan lalu, masih berkutat pada tema “dibuang sayang”; tentang pretilan-pretilan gagasan seputar KPI yang memang menjadi sebuah wacana seru dalam dunia persilatan politik Indonesia dan kait-mengaitnya dengan soal tatanan baru masyarakat Indonesia yang kita harapkan. Inilah secuil lagi unek-unek saya sebagai calon anggota KPI Pusat yang gagal ketika di-fit and proper test oleh para wakil rakyat kita yang terhormat.

Relasi KPI, Kuasa, dan Modal

Relasi segitiga antara KPI, pemerintah (kekuasaan), dan pemilik modal industri penyiaran merupakan struktur dasar yang menentukan dan membentuk kualitas siaran yang dihasilkan industri penyiaran dan dinikmati masyarakat. Peran KPI dalam segitiga ini sangat penting karena KPI harus menjaga dan memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan siaran yang mengandung: informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamankan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia (bab IV, pasal 35 UU No.32 Tahun 2002). Pertanyaannya kemudian: benarkah dibutuhkan KPI yang mampu menjalin hubungan “harmonis” dengan industri penyiaran agar tercipta iklim yang “produktif”?

Saya berpendapat sebaliknya. Kita tidak perlu hubungan yang “harmonis”, kita justru perlu hubungan yang “dinamis” dengan industri penyiaran. Kita juga tidak perlu produktif kalau hanya menghasilkan junk information atau junk electronic cinema (sinetron). Lebih baik meningkatkan kualitas daripada kuantitas tayangan sebuah industri penyiaran. Dalam Bab III, pasal 9 ayat 2, UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, antara lain disebutkan bahwa KPI memiliki wewenang untuk menetapkan standar program siaran. Wewenang inilah yang seharusnya menjadi landasan hubungan KPI dengan industri penyiaran. Harus dibedakan dengan tegas antara substansi sebuah hubungan dengan sifat sebuah hubungan.

Substansi sebuah hubungan terletak pada pembagian peran dan wewenang yang jelas, di mana pihak-pihak yang saling berhubungan menghormati dan menghargai peran dan wewenang masing-masing. Artinya, dalam konteks hubungan dengan industri penyiaran, maka semua lembaga penyiaran baik swasta maupun publik, harus pertama-tama menghormati wewenang KPI. Demikian juga dalam konteks hubungan antara KPI dengan pemerintah, kedua pihak harus saling menghormati peran, wewenang, fungsi, dan tanggungjawab masing-masing. Jika substansi hubungan ini terjamin, maka sifat hubungan yang terjalin akan sekaligus harmonis dan dinamis karena sebenarnya sebuah hubungan yang harmonis adalah hubungan yang dinamis.

Mengingat besarnya kontribusi yang bisa diberikan oleh KPI dalam meningkatkan kualitas siaran dari lembaga penyiaran apa pun agar menyiarkan materi siaran yang bermutu, mencerdaskan, edukatif, berwawasan kebangsaan, dan sekaligus menarik sebagai sebuah siaran, maka semua anggota KPI harus memiliki totalitas dalam menjalankan peran dan fungsinya sesuai wewenang dan tanggungjawabnya. Era ini adalah era informasi, dan selangkah saja kita lengah, kita bisa terancam menjadi bangsa yang terus “jadul”. Semua anggota KPI juga harus memiliki kearifan untuk melihat setiap persoalan secara holistik dan kritis sehingga tidak mengambil keputusan atau tindakan yang partial dan sepihak. Semua anggota KPI juga harus memiliki visi jauh ke depan, modernis, open minded, menghargai dan menghormati pluralisme, sehingga bisa dipastikan KPI tidak akan menjadi KPI yang “jadul”.

KPI yang tidak “jadul” pasti tidak akan sampai “kecolongan” oleh tayangan semacam Smack Down yang memang sangat mengerikan. KPI yang “gaul” pasti tidak akan melupakan bagian Lembar Penjelasan Undang Undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang menegaskan tugas: terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat, mampu menyerap, dan merefleksikan aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, untuk meningkatkan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh buruk nilai budaya asing”. Dan Smack Down adalah contoh ekstrim budaya asing dengan pengaruh sangat buruk pada masyarakat, terutama anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Apa kita mau menjadi bangsa tukang piting, pithes, pelintir, dan pethuk? Saya yakin kita akan sama-sama berteriak keras menjawab: “Tidaakk!”.

Hubungan antara KPI, kuasa, dan para pemilik modal, sekali lagi, sangat menentukan dalam meletakkan fondasi tatanan masyarakat Indonesia masa depan yang cerdas, kritis, demokratis, dan menghargai keberagaman. (frg)