Wednesday, May 24, 2006

Sutiyoso dan Teater Tanah Air

Crp 26 

Dalam satu kesempatan beberapa waktu lalu, Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta, menerima rombongan Teater Tanah Air (TTA) yang dipimpin oleh Jose Rizal Manua. Dalam rombongan turut serta juga Garin Nugroho, selalu penasehat TTA. Agenda pertemuan tersebut adalah memberitakan kabar gembira sekaligus meminta dukungan dari Pemda DKI. Kabar gembiranya adalah prestasi TTA (sebagai wakil dari Indonesia) yang untuk kedua kalinya lolos seleksi untuk tampil dalam Festival Teater Anak Sedunia di Lingen, Jerman pada bulan Juli 2006. Melalui seleksi yang ketat, TTA berhasil menyisihkan puluhan grup dari puluhan negara. Sebelumnya, pada tahun 2004, TTA lolos seleksi dalam festival yang sama di Kyoto, Jepang, dan memenangkan medali untuk Best Performance. Sebuah prestasi luar biasa dan jelas-jelas mengharumkan nama Indonesia yang belakangan tidak punya banyak prestasi di kancah internasional.  

Sutiyoso menerima kabar gembira tersebut dengan suka cita dan menjanjikan dukungan moril dan materiil. Bang Yos lalu menunjuk sejumlah staf-nya untuk follow up dukungan yang dijanjikan tersebut. Garin bahkan meluaskan topik pembicaraan tentang pentingnya ruang publik bagi pendidikan seni dan budaya di Jakarta. Singkat cerita, rombongan TTA pulang dengan optimisme; tidak perlu susah payah mencari dana atau sponsor untuk keberangkatan mereka. Pengalaman sebelumnya di Jepang saat mereka memenangkan

Best Performance, yang serba minim dukungan dan penuh keprihatinan, sepertinya tak kan terulang lagi. Bang Yos, selaku gubernur sudah memberikan dukungannya, dan selama ini sosoknya memang termasuk sosok gubernur yang apresiatif terhadap dunia seni-budaya.  

Langkah selanjutnya kemudian mulai dilanjutkan oleh Pimpinan Produksi yang ditunjuk TTA, yakni Alika Chandra. Naskah yang akan dipentaskan di festival teater anak sedunia itu bertajuk "WOW", ditulis oleh Putu Wijaya, dramawan dan penulis terkemuka yang juga punya reputasi internasional. Sebenarnya, dunia seni-budaya kita, terutama sastra, tari, teater, dan seni lukis, sudah lama memiliki prestasi yang membanggakan dan mengangkat nama Indonesia di kancah internasional. Namun selama ini, dukungan pemerintah terbilang sangat minim untuk prestasi para seniman teater, penulis, koreografer, dan pelukis-pelukis kita.  

Sementara Alika mem-follow up dukungan dari Bang Yos, anak-anak (dan orang tua mereka) TTA yang akan berangkat ke Jerman, terus latihan dengan penuh semangat dan dedikasi. Mereka latihan rutin 4 kali seminggu setiap Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu, mulai jam 7 sampai jam 10 malam. Pagi harinya mereka tetap harus masuk sekolah sampai siang hari, dan seusai sekolah masih harus melakukan kegiatan lain pendukung pelajaran. Mereka benar-benar berjuang dan bekerja keras.  Dan semua dilakukan dengan swadaya. Belum ada dana tersedia untuk biaya latihan. Bahkan konsumsi pun disediakan secara gotong royong oleh orang tua masing-masing anak yang terpilih untuk berangkat ke Jerman. Semangat kekeluargaan ditambah kebanggaan prestasi yang dicapai anak-anak mereka mengalahkan berbagai kendala yang ada.  

Persoalannya, setelah sekitar 4 bulan latihan intensif, ternyata realisasi dukungan material (moril pasti sudah diberikan) belum juga mewujud. Berbagai prosedur birokrasi untuk mewujudkan dukungan itu ternyata begitu berliku dan penuh dengan dinding-dinding penghalang yang tak nampak. Berbagai upaya mencari sponsor juga membentur ruang kosong. Hampa. Sampai minggu lalu, TTA belum bisa membayar tiket yang sudah dibooking dan harus segera dibayar. Beberapa orang yang mencoba membantu dengan sungguh-sungguh, seperti artis Peggy Melati Sukma, belum juga mendapatkan kepastian. Memprihatinkan. Di saat segelintir anak-anak akan membawa nama bangsa ke sebuah keharuman di kancah dunia, dukungan ternyata begitu sulit diperoleh. Apa sebenarnya yang terjadi pada bangsa kita tercinta ini? 

Pendiri TTA, Jose Rizal Manua, adalah seniman yang percaya pada keajaiban. Miracle still happened. Itu barangkali yang ada dalam keyakinannya. Dan sebaiknya, begitulah seharusnya sikap seorang seniman. Dan memang, apapun keadaannya, TTA harus berangkat untuk berlaga di kancah festival teater anak internasional itu. Di saat bangsa kita tercoreng oleh aksi terorisme, oleh korupsi dan kesewenang-wenangan kekuasaan, oleh kemiskinan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, secercah sinar terang bisa kita harapkan pada diri anak-anak TTA. Merekalah generasi penerus yang bakal memutus rantai sejarah untuk membuka sebuah lembaran baru yang lebih bersih, indah, dan penuh penghargaan pada kemanusiaan. Bukankah kita hanya bisa menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia jika kita telah menjadi manusia yang benar-benar berbudaya? 

Akhirnya, melalui tulisan ini, saya sebenarnya hanya ingin agar siapapun yang membacanya, yang kebetulan punya teman konglomerat atau pejabat sekelas menteri, mau menyampaikan persoalan TTA ini pada teman konglomerat atau teman menteri kalian. Dan saya juga berharap, mudah-mudahan Bang Yos, atau stafnya, atau anaknya, atau keponakannya, atau temannya, juga ada yang membaca tulisan ini dan kemudian segera bertindak.  Itu saja. (frg)    

Friday, May 05, 2006

Mari Meneladani Pram

catatan rabu pagi 25

Mari mengheningkan diri untuk meneladani Pramoedya Ananta Toer yang telah berpulang.